
HISAB DAN PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL
Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh syari’atnya.
Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan ibadah besar seperti puasa Ramadhan, Idul Fithri dan haji. Oleh karena itu Rasulullh secara tegas mengajarkan cara penentuannya dengan rukyat hilal (melihat hilal) dengan mata dan bila terhalang mendung atau yang sejenisnya maka dengan cara menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk Ramadhan atau Ramadhan 30 hari untuk Syawal [1].
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata [2]
Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandar kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama.
Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[4]
Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata:
Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata :‘
Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab.
Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.’.
Lalu beliau berkata lagi:
‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salaush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’.
Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.’.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]
Jadi jelaslah hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.
FAKTA DAN SYUBHAT
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.
Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” [Al Baqarah : 185]
Jawab.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. [Yunus : 5]
Jawab.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melihat hilal.
Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا ) tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (لِتَعْلَمُوا) berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ ) bukan kepada (جَعَلَ ) karena sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian juga karena Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. [at-Taubah :36]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal [8].
Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.
3. Sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut. [9]
Melihat bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah).
Jawab:
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. [al-Mursalat :23] [10]
Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya.
Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah atau menentukan perkara syariat umum yang lain dengan hisab, maka (pendapat seperti ini) tidak pernah disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama mereka, ed). [12]
Ibnu Mulaqin berkata : Kata faqdurullahbila, bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya.
Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.
4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.
Jawab.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].
Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr [15]
Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan. [16].
.
Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]
5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bagaimana menentukan awal bulan Dzulhijah untuk selanjutnya menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat sekarang, dengan menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal dizaman Nabi dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur dan ashar, dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan terbenam matahari untuk waktu sholat maghrib dari hilangnya mega merah untuk sholat isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum ayat 5 surat Yunus diatas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik berdasarkan metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah beradasarkan dalil).
Jawab.
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam’iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]
Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah :”Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. [Al-Baqarah:189]
Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Adapun waktu shalat sudah jelas dan disepakati Rasululloh telah menjelaskannya dengan sangat jelas sekali dalam hadits Jabir dan yang lainnya.
Mengapa kita memaksakan semua ini masuk dalam keumuman ayat 5 surat Yunus yang tidak menjelaskan tentang penggunaan hisab dalam syari’at Islam, padahal secara jelas ketentuannya telah terperinci dalam ayat dan hadits-hadits yang shahih. Seperti ini menunjukkan jalan istimbath yang jauh dari benar.
Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.
6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran
Jawab
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?
7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan.
Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan bahwa ini merupakan penyebab hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab, sebab Nabi dan para sahabat tidak mampu melakukannya dengan sebab ummiynya mereka. Sedangkan kami sekarang bisa membaca dan mengetahui ilmu hisab. Ditambah lagi kami memiliki teropong bintang yang modern. Sehingga alasan hanya menggunakan rukyat hilal sekarang ini terhapus. Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa berubah dengan ada atau tidak adanya illat (alasan hukum).
Jawab.
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya.
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dalam dua ayat [19] yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab.
Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan kepada ummah yaitu orang yang tidak memiliki keistimewaan dari yang lainnya berupa membaca atau menulis sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang awam) untuk orang umum yang tidak memiliki keistimewaan khusus dari ilmu pengetahuan.
Ada juga yang menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al um, yang maknanya tetap pada kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa pengetahuan dan ilmu serta yang sejenisnya. Kemudian keistimewan yang mengeluarkan dari ummiyah al’ amah (yang umum) kepada al ikhtishosh, terkadang adalah keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat membaca Al Qur’an dan memamahi kandungannya.
Dan terkadang hanya menjadi sarana mencapai keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat menulis dan membaca tulisan, sehingga terpuji pada orang yang menggunakannya untuk kebenaran, dan dicela pada orang yang meninggalkannya atau menggunakannya untuk kejelekan. Orang yang mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya, maka lebih sempurna dan utama.[20]
Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi, maksud umiyah yang terdapat pada hadits tersebut merupakan sifat terpuji dan sempurna. Yaitu dari sisi mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab dengan yang lebih jelas dan pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan dan hisab masih mungkin keliru dan salah. Sehingga dengan demikian jelaslah kesalahan prasangka diatas.
Seandainya hisab lebih baik dan tepat digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tentulah Allah akan menjelaskan atau mengajarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat Beliau, sehingga dapat digunakan mereka untuk memudahkan penentuan awal bulan Ramadhan.
وَمَاكاَنَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam:64]
Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.
KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.
Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.
*) Tambahan judul “dan syawal” dari admin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif . juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167
sumber: www.almanhaj.or.id
Baca juga, MANHAJ DAKWAH MUHAMMADIYAH
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Hormati perbedaan yang ada, dan jangan timbulkan perpecahan, Silahkan bagi yang berpuasa hari ini ataupun besok asalkan jangan dijadikan sebagai alat perdebatan.
Karena tidak ada yng perlu diperdebatkan.
Kalau menurut anda itu yang paling betul maka ikutilah. Tetapi jangan memaksa orang lain untuk sependapat dengan anda.
mari kita jalin Persatuan dan Kesatuan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Assalamu’alaikum warohmatullohiwabarokatuh
Ustadz bagaimana dengan hadist ini mereka berpendapat dengan hadist ini…?
: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”.
serta ayat ini:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
terima kasih
Wassalamu’lkm warahmatullohiwabarokatuh
Klw hisab itu dilarang terus kenapa ada 2 derajat. Kan cukup ketika ada hilal maka berpuasalah..
walaupun ada yang melihat hilal tapi kurang dari 2 derajat tetap ga dianggap ko waktu sidang istbat..kalau sudah terlihat sudah pasti ada wujud’a dong…jadi ga mesti 2 derajat kan..jangn bilang itu ketetapan pemerintah lagi ya mas..
syukron
setelah membaca tulisan antum diatas mengenai mengikuti syariat yg diajarkan rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ana ingin bertanya..apakah pemerintah / negara indonesia mengikuti syariat islam yg seperti diajarkan Nabi Muhammad rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bukankah Islam itu satu , dan tidak terkotak kotak seperti adanya negara negara sekarang ini, saat nya lah Islam ini kembali kepada satu komando atau yg disebut khilafah..
Apakah negara indonesia tidak menerapkan syariat islam?
ya..indonesia tidak menerapkan syariat islam.
Negara indonesia juga menerapkan hukum islam, walaupun tidak sepenuhnya, tapi sebagian besar syariat islam diterapkan di negeri ini, seperti shalat 5 waktu berjamaah,puasa ramadhan,haji,nikah,waris,adzan,idhul adha,idhul fitri, dan masih banyak lagi.
apakah ada Rasulullah Mengajarkan syariat Islam yg tidak sepenuhnya..
jadi jawaban ana indonesia tidak menerapkan syariat Islam berdasarkan tulisan antum sendiri yaitu ‘indonesia juga menerapkan hukun Islam tapi
tidak sepenuhnya’ padahal Rasulullah tidak pernah mengajarkan Islam setengah setengah…
Klo ana emang tidak mengikuti keputusan pemerintah..karena pemerintah yg antum maksud hanya pemerintahan dunia.
toh keputusan pemerintah juga mengikuti keputusannya ormas..
klo ana ambil yg sesuai Rasulullah aja
..sekarang kan udah tehknologi canggih..ada tv, ada internet yg bisa langsung mengetahui kapan di mekkah dan madinah berpuasa ato berlebaran..
sesuai sabda Rasul :
“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).
jadi jika saudara saudara kita yg berada di mekkah dan madinah berpuasa ato berlebaran ya kita ngikut saudara saudara kita yg berada disana aja…toh perbedaan jam nya tidak sampai 1 hari…
jadi jika di masjidil haram melaksanakan sholat tarawih sekitar jam sembilan malam ya ana sholat tarawih jam 2 dini hari..lalu langsung makan sahur..
informasi yg sangat bermanfaat..sesuai dg kondisi saat ini…..mankyuuusss 🙂
Maaf mas kalo membahas sesuatu artikel yang lengkap jangan cuma sepenggal ajah, ini namanya anda menyesatkan dan seolah” mau mengadu domba orang Islam,
contoh nyata kalo emng menurut anda rukyatu hilal itu benar, kenapa pas 10 Zuhijah itu sealu berbarengan dengan Muhammadiyah..??
coba anda bayangkan harusnya itu pasti H+1 dari penentuan Muhammadiyah, karena yang namanya satu bulan itu ga semuanya sampai 30 hari iya ga..??
jadi kalo nulis artikel yang bener donk.. jngn karena anda orang NU nulis artikela semaunya anda sendiri tanpa melihat bukti dan hadist” yang shoheh yang di ajarkan Rosululah SAW, kalo boleh aku komentari sebenarnya anda tidak tau apa” tapi anda sok tau biar kelihatan ngetren di Internet..
setuju dengan tulisan ini..terkadang orang klo merasa pinter jd keblinger..sebagai umat muslim kita tidak akan pernah lepas dari AL Quran dan hadits, hanya orang yang munafik aja mengaku pinter tp tidak mengikuti dan memahami AL Quran dan hadits dengan sebaik2nya..
ilmu teknologi itu milik siapa ?
lalu apakah islam tidak boleh menggunakan teknologi tersebut ?
lalu bukankan Al Quran itu gudangnya ilmu dan teknologi
hisab itu definisi singkatnya adalah perhitungan
dan Allah mengajarkan kita untuk berhitung, berfikir, menggunakan nalar dan ujungnya bisa jadi menggunakan teknologi, lalu mengapa dikatakan dengan hisab kesalahan besar?
lalu dengan apakah anda menentukan waktu shalat? apakah masih menggunakan ukuran hasta, bayangan atau apalah untuk menentukan waktu shubuh dhuha dhuhur ashar magrib dan isya, jika masih tradisional saya salut tetapi jika menggunakan perhitungan astronomi apakah itu tidak konsisten ?
sepertinya tidak ada kesalahan
hanya perbedaan penafsiran saja menurut saya, karena tiap paham memiliki dasar2nya.
biarkan hati ini yang meyakini mana yang akan dipilih.
Patokan waktu sholat yang sudah dijadwalkan bukanlah patokan dasar untuk masuknya sholat, itu hanya perkiraan waktu sholat yang hampir mendekati masuknya waktu sholat tertentu, tidak mutlak.
Seperti kita ketahui bahwa waktu di seluruh dunia berbeda-beda, bahkan tidak ada ukuran waktu dunia yang benar-benar tepat. Misalnya, antara jam yang satu dengan jam yang lainnya belum tentu sama walaupun berada di satu tempat yang sama walaupun ada perbedaan beberapa menit atau detik, atau jam sudah menunjukkan masuknya waktu sholat dzuhur, tetapi bayangan suatu benda masih belum sama betul dengan bendanya, atau mega merah di langit sudah hilang, untuk batas waktu maghrib, tetapi waktu sholat isya masih beberapa menit lagi.
Sehingga adzan di masjid atau mushollah biasanya tidak tepat pada waktu yang sudah dijadwalkan, tetapi biasanya dilebihkan beberapa menit dari waktu yang sudah dijadwalkan untuk sekedar menjaga keragu-raguan masuknya waktu sholat. Jika benar, semata-mata datangnya dari Allah SWT dan jika salah, itu dari diri saya pribadi. Jazakumullah.
assalamu ‘alaikumum.
syukron, ya hrus diakui menggantungkan kpd hisab spenuhnya memag tdk sesuai dgn ajaran rasulullah saw,
nmun sya ingin brtanya apakah metode yg dilakukan pmerintah jg sdah sesuai syar’i dgn rukyahnya itu, tim ahli rukyah pmerintah jg memakai teropong ketika mlihat hilal dan sya dengar jg diberlakukan batasan terlihatnya hilal 2 derajad, pdhal rasulullah tdk mmberikan batasan harus brapa derajat hilal bs dikatakan terlihat,
mhon pencerahannya, syukron jazakumulloh
Assalamualaikum,
semoga Allah merahmati kita semua. Dari semua pendapat yang dikemukan oleh antum sekalian, saya setuju bahwa untuk menentukan awal puasa dengan rukyat (melihat hilal). Tapi yang masih jadi pertanyaan saya adalah apakah ada batasan ukuran derajat hilal untuk bisa dilihat oleh mata di zaman Rasulullah SAW, jika tidak ada, berarti hilal yang terlihat namun masih di bawah ukuran derajat yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu 2 derajat, sudah menunjukkan masuknya awal puasa, bukankah seperti itu?
Dari beberapa informasi yang kita dengar sewaktu sidang Isbat, ada laporan yang menyatakan bahwa melihat hilal, tetapi derajatnya masih di bawah 2 derajat sehingga tidak memenuhi syarat untuk penentuan awal puasa. Semoga antum sekalian bisa memberikan penjelasan mengenai hal ini agar sekiranya jelas untuk saya pribadi dan semuanya.
MENGAPA MUHAMMADIYAH MEMAKAI SISTEM HISAB DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH?
Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru’yah. Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru’yatuI hilalyang dalam istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. (hadis ru’yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru’yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru’yah berasal dari akar kata ra’a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru’yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi’i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru’yatul hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.
Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima’, ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat bulan, jika mendung “kadarkanlah” olehmu untuknya.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata “kadarkanlah”. Ada yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti “kadarkanlah” tersebut adalah “fa’udduhu bil hisab” artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud “kadarkanlah” ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru’yatihi, diantaranya adalah ru’yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz II hal 49), jadi ru’yah tidak mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.
terjemahan dari QS Yunus 5 :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah2 (tempat2) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan yang haq. Allah menjelaskan tanda2 kebesaran-Nya kepada orang2 yang mengetahui.
dari ayat tersebut peredaran/gerak bulan diciptakan agar manusia dapat mengitung bilangan tahun dan waktu, dan Allah tidak menjadikan yang demikian tanpa ada maksud (hikmah). Apakah dari ayat tsb tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan awal bulan ramadhan? Apakah hisab adalah kesalahan yang besar untuk menentukan awal bulan,padahal dasarnya ada didalam Al-Quran?
sedangkan pada hadist “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut.”
Jika rasulullah menyuruh kita untuk melihat bulan maka didalam hadist tsb akan berbunyi “lihatlah bulan maka kalian berpuasalah, jika terhalangi maka genapkanlah menjadi 30 hari ” tetapi yang ada pada hadist ada kata-kata “Jika” dan yang masuk dalam wilayah ibadah adalah hal puasanya bukan melihat hilalnya, jadi apakah hisab termasuk dalam bid’ah? apakah yang dimaksud melihat hilal disiini adalah hanya sebagai cara untuk menentukan awal puasa ataukah termasuk dalam ritual ibadah?
1.bukankah dari peredaran bulan dan matahari tsb dapat mengetahui perhitungan waktu dan dari situ juga dapat ditentukan kapan awal bulan baru,jika demikian ada kemungkinan jika memakai rukyat awal puasa dimulai pada tanggal 2 ramadhan karena dari hasil hisab hilal sudah wujud tetapi tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena tertutup awan. bagaimana jika terjadi hal yang demikian?
2 bukankah hadistnya berbunyi “berpuasalah jika melihat bulan dan berbukalah jika melihat bulan dan genapkanlah menjadi 30 hari jika tertutup awan” bukan “lihatlah bulan maka berpuasalah kalian dst..” yang diperintahkan di hadist tsb kan bukan melihat bulannya akan tetapi puasanya. Apakah melihat bulan dihadist tsb masuk dalam ritual ibadah? dan mengapa dengan hisab dikategorikan bidah?
Ayat tersebut sangat berhubungan dengan hilal, jika kamu termasuk orang-orang yang berfikir.
kalau Indonesia memakai sistem Syariat Islam seperti jaman Rosul maupun para sahabat, ane bakal ikut dh mas 🙂
Lagian kemenagnya juga seperti itu apa pantas disebut ulil amri?
oh iya mas saya pernah denger hadits ini. menurut mas gimana?
“Dulu Rasulullah senantiasa berupaya serius menghitung (hari sejak) hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum berdasarkan ru’yah (hilâl) Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya) barulah beliau bershaum.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim (I/423) Al-Baihaqi (IV/406). Ad-Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd no. 2325.
Bisa kita lihat Nabi berusaha menghitung (hisab) dan ternyata belum bisa… Belum yah as bukan ngga bisa…
Apa yang harus kit lakukan menyikapi hadits ini?
intinya syarat 2 drajat itu adalah ktentuan baru juga. knapa tidak dipermasalahkan sebagaimana ilmu hisab yang adalah ilmu baru ya? klau mau btul2 saklek terhadap kata2 “melihat”, ya jangan tanggung-tanggung dong. melihat ya melihat saja.ngga perlu pake syarat2an 2 drajat bukan? kalau peryataan orang2 cakung yang mengaku melihat bulan itu ternyata benar. mudah2an kita semua diampuni di akhirat. amin
Ya mau bgaimana lg, qt jg gak bs sembarang mnuduh ada konspirasi/ ada unsur politik/ ada gengsi pmerintah (sperti yg rame dbicarakan di dunia maya), yg jelas mau gak mau qt hrus ngikut pmerintah krn nabi kita telah bersabda demikian, mski msh ada bbrpa kkeliruan dlm rukyatnya. prkara kkeliruan mreka wjib qt nasehati dgn cara2 yg syar’i. Klo pmerintah salah dan qt mlah ngikut ormas masing2, nnti mlah kacau balau jd nya, krn blm tentu jg tiap ormas mpy metode yg sama. sbenere simpel aja klo bner2 murni mau ngikut tuntunan rasulullah saw, gak akn rumit sperti ini prmasalahannya.
Qt bru boleh melawan pmimpin apabila persoalannya semisal di negara Suriah, dmna rakyatnya yg beraqidah ahlussunah dipaksa rezim pmerintahannya (Bashar al assad) utk merubah haluannya mjd beraqidah sesat syi’ah nushairiyah. Naudzubillah, jgn smpe itu trjdi di negara qt, mka dri itu qt wajib selektif dlm mmilih pmimpin.
Smoga saudara2 qt ahlussunah di Suriah, myanmar, iraq dan dmna sja yg mreka dlm keadaan ditindas, mndapat prtolongan dri Allah Swt di bulan yg penuh berkah ini.
dari judulnya saja sudah seperti itu..Kesalahan besar, menggunakan hisab sebagai penentuan mutlak untuk menentukan awal ramadhan….syari’at mana yang tidak mengajarkan hisab…di al-qur’an sangat gamblang…
kok terus mengembang ke pemerintah…fokus artikel ini ke syari’at atau pemerintah???
saya lebih sepakat dengan menggunkan rukyat dan hisab, jika bulan tak terlihat maka kembalilah kepada hisab, rukyat itu metode mengetahui masuknya bulan Ramadhan, dan hisab juga metode mengetahui masuknya bulan baru….
terbukti…
bahwa masing2 memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan
lalu landasan manakan yang akan dibenarkan oleh Allah yang Maha Benar.
kembali kepada Judul….SEBENAR APAKAH ANDA DI HADAPAN ALLAH sehingga mampu mengatakan KESALAHAN BESAR ?!!
LANDASAN APA YANG GUNAKAN DALAM MENUNJUKAN WAKTU SHALAT?!
jadwal sholat sekarang pake jam Mas. Siapa yang mmerintahkan pake jam.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
1. Jika melihat hilal harus dengan mata telanjang dan tidak boleh menggunakan alat ataupun dengan cara hisab, pada suatu ketika hilal yang seharusnya terlihat akan tetapi tertutup awan mendung sehingga puasa diundur keesokan harinya pada tanggal 2 ramadhan sedangkan pada akhir ramadhan tanggal 29 ramadhan hilal terlihat jelas sehingga keesokan harinya harus berhari raya maka puasa ramadhan hanya berlangsung 28 hari, padahal rasulullah bersabda bahwa umur bulan itu kalau tidak 29 hari ya 30 hari.bagaimana dengan yang seperti ini?
2. Jika melihat hilal termasuk ibadah, maka semua muslim wajib hukumnya untuk melihat hilal sendiri-sendiri karena urusan ibadah tidak bisa diwakilkan oleh orang lain, padahal rasulullah sendiri juga pernah tidak melihat hilal langsung sendiri akan tetapi hanya mendapatkan laporan dari sahabat, bagaimana dengan hal ini?
mohon penjelasannya, terima kasih
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
maaf penjelasannya kok tidak nyambung ya,terlepas dari penguasa atau ormas yang menentukan, yang saya fokuskan disini masalah cara penentuan awal puasanya.
1. Bagaimana status hukumnya bila puasanya hanya 28 hari? bukankah umur bulan kalau tidak 29 hari ya 30 hari sesuai hadist rasulullah kalau seperti itu juga kan menyalahi hadist rasulullah juga??
2. Menurut jawaban admin sebelumnya “melihat hilal adalah ibadah, karena itu diperintahkan oleh rasulullah,
sedangkan hisab sebagai patokan mutlak puasa, ini adalah bidah, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah” Disini dikatakan bahwa melihat hilal adalah ibadah sehingga jika menentukan awal puasa tidak melihat hilal dikatakan bidah, apakah sesuatu yang dinilai ibadah boleh atau bisa diwakilkan oleh orang lain? kalau sesuatu dinilai ibadah bisa diwakilkan oleh orang lain berarti ibadah yang lainnya bisa diwakilkan juga
mohon penjelasannya.terima kasih
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
maaf saya kok belum puas dengan jawabannya karena jawaban yang diberikan kok tidak masuk ke pokok masalahnya. Misalkan saja sekarang mas admin yang jadi penguasanya, kemudian saya jadi rakyatnya. Saya sekarang bertanya sebagai rakyat kepada mas admin sebagai penguasa
Bagaimana hukum puasa ramadhan yang hanya berlangsung 28 hari karena alasan hilal tidak terlihat (tertutup awan) di awal bulan sehingga puasa dimulai tanggal 2 ramadhan sedangkan akhir bulan tanggal 29 ramadhan hilal terlihat sehingga besoknya hari raya?
kok malah menyalahkan pemerintah, kan pemerintah pake rukyat.
Merupakan kesalahan besar pula, siapapun yang langsung menyatakan salah (apalagi secara emosional) atas pendapat yang juga berdasar wahyu Alloh.
“Ya, melihat hilal adalah ibadah, karena itu diperintahkan oleh rasulullah,
sedangkan hisab sebagai patokan mutlak puasa, ini adalah bidah, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah” jawaban sebelumnya dari mas admin.
kesimpulannya :
melihat hilal = ibadah, menggunakan hisab = bidah karena tidak ada contoh dari rasulullah. Jika melihat hilal termasuk ibadah, apakah boleh sesuatu yang termasuk ibadah bisa diwakilkan oleh orang lain?
terlalu banyak yang ngeyel…
padahal masalahnya simple.
kata nabi: lihat, lihat, lihat, ikut pemerintah, taat pemimpin, … satu d.. bareng d… ga pecah d.. gitu aje ko repot…
tgl 4 April gerhana bulan, kita disunahkan melaksankan sholat gerhana. Dari mana tahu “akan” terjadi gernaha?
Fakta: saat ini rukyat pake alat canggih, pake panitia, pake dana milyaran, hasilnya samar-samar apakah bulan sabit sudah nampak apa belum, kalo ada yang melihat belum tenttu diakui. Kalo memang mudah kenapa harus pake dana milyaran.
Fakta: Saat ini di internet tersedia perangkat untuk menentukan posisi bulan setiap saat, murah dan sangat mudah, mencakup semua negara, siapapun dan dimanapun akan memberikan kesimpulan yang nyaris sama.
Jadi biarlah yang mau pake rukyat atau hilal silahkan, itu hanya cara mengukur, yang penting puasa di bulan ramadhan (Al Baqarah 185 ayat yg muhkamat, jangan ditafsirkan dengan makna yg lain).
Jaman nabi gak ada timbangan kaya sekarang, zakat 2.5 kg beras pake timbangan boleh, itu hanyalah cara mengukur, dulu arah kiblat masjid tidak pake alat ukur arah shg belakangan diketahui banyak yang tidak tepat, saat ini dengan alat ukur lebih tepat.
Bandingkan dengan aliran lain, dalam hal rangkaian pelaksanaan sholat, manakah yang lebih mendekati cara sholat nabi? Juga dalam pelaksanaan ibadah lainnya, manakah yang lebih banyak mendekati cara nabi? Coba anda ikut didalamnya sambil mengamati pelaksanaan ibadah ormas yang anda tuduhkan tersebut, agar anda lebih tahu dan dibukakan wawasannya.
Cobalah Anda hitung, amal perbuatan yang dilakukan oleh ormas yang anda tuduh itu, bagaiamana perannya sejak sebelum Indonesai merdeka hingga sekarang?
Bagaimana perananya dalam penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan hingga jenjang tertinggi, panti asuhan. dan sebaainya. Itu semua dilakukan semata-mata mentaati Al-Quran dan sunnah rasul.
Saya tidak setuju kalo anda menuduh sesama muslim seenaknya apapun alirannya.
Wiih…semangat 45 yah mas, dalam memerangi metode hisab. Saya mah, orang awam, hanya bisa membaca perang ideologi masing-masing ormas. Jangankan menentukan awal Ramadhan dan Syawwal, untuk penentuan waktu shalat yang dalam sehari ada 5x aja saya masih terheran-heran..
Dalam Hadits disebutkan waktu2 shalat:
1. “Waktu Shalat Dhuhur jika Matahari sudah condong dan bayangan seseorang sejajar sebelum masuk waktu Ashar” (HR. Muslim)
2. “Barang siapa yang mendapat satu rekaat shalat Ashar sebelum Matahari tenggelam maka dia telah mendapatkan (waktu) shalat Ashar” (HR. Imam enam, berkata Tirmidzi: Hasan Shahih)
3. “Waktu shalat mangrib ialah sebelum syafaq merah terbenam” (HR. Muslim)
4. “Safaq adalah warna merah, jika safaq sudah hilang diwajibkan shalat” (HR. Darul Quthni)
5. “Waktu shalat fajar selama Matahari belum terbit, barang siapa yang mendapatkan satu rekaat shalat subuh sebelum Matahari terbitk maka dia sudah mendapatkan waktu shalat subuh” (HR. Muslim)
Semua hadits di atas menunjukkan bagaimana cara Rasululullah SAW menentukan waktu2 shalat. Dan tersirat bahwa indera penglihatan adalah modal untuk menentukannya (sama dg ru’yatul hilal). Namun ketika saya berada di masjid2, mengapa jadwal shalat 5 waktu dalam sebulan sudah dipajang? Lengkap dengan menit dan detiknya pula. Bukankah hanya bisa didapat dengan cara hisab? Padahal saya tidak menemukan hadits tentang rumus2 untuk menentukan waktu shalat. Shalat adalah ibadah wajib paling wajib yang harus dilakukan umat islam. Kenapa cara penentuan waktunya tidak diperdebatkan? Orang yang tidak bisa berpuasa bisa diganti dengan fidyah. Tapi shalat? tidak tergantikan dengan apapun. Orang sakit aja harus sholat meski sambil rebahan.
Tanpa disadari, Indonesia sudah menggunakan ilmu hisab untuk menentukan waktu shalat, kalender hijriyah, dll. (gak usah malu ngakuinnya….)
Saya tertarik dengan 2 kata pada judul tulisan anda. “kesalahan besar”. Weleh-weleeeh…..Manusia itu diberi ilmu pengetahuan hanya sedikit. Apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Artinya, peluang benar dan salah antara mas dengan ormas tsb 50:50 (fifty2). Setinggi2nya ilmu mas, masih ada lagi yg lebih tinggi lagi loh.. kalo dibalik, kesalahan besar juga dong, mesjid2 ngejadwalin waktu shalat lengkap dengan menit dan detiknya hayoooo???
Saya pernah mendapatkan sms, bahwa sebuah ice cream ternama (sensor merk) itu terkandung minyak babi. Hal ini diketahui dari kode makanan yang tercantum dlm komposisi pada bungkusnya. (Saya sih, gak tau. Makanya diinformasikan oleh orang yang tau). Dengan informasi tsb, saya jadi mempertanyakan kinerja MUI sebagai lembaga yang meloloskan label halal pada produk tsb. (maksudnya paragraf ini apa y?)hehe…. maksudnya, ulil amri pun bisa saja khilaf/lupa.
Ya, memang umat islam diperintahkan untuk mengikuti apa kata ulil amri. Tapi kalo saya pikir2, pengadaan Al-Qur’an (kitab Allah paling Suci) aja berani dikorupsi oleh para ulill amri kita. Dan kita tahu, baik itu si koruptor, yang diamanahi penitipan barang korupsi, dan orang2 yang terlibat dg kegiatan itu sama2 berdosa. Sayang sungguh sayang, itu terjadi di Kementrian Agama kita (ini saya sembunyikan yg proyek haji ya, mas).. pertanyaan saya, masih pantaskah ulil amri yg spt itu kita ikuti? Ditambah lagi kalo ada spekulasi kasus ice cream di atas (ruwet yah…)
Tugas kita hanya men-share dalil2nya saja mas… Urusan orang lain milih yg mana, biarkan mereka yang menentukan. Toh, masing2 ormas memiliki ideologi masing2 yang bs dipertanggungjawabkan. Asalkan kita masih dalam syahadat yg sama, ibadah wajib yg sama, tidak perlu dilabeli sesat, apalagi diperangi. Kalo saya mah, selama ada yang bersaksi melihat hilal, saya akan berbuka. Tidak peduli apakah dia ormas A, B, C, D. Saya tidak cukup pintar untuk melihat hilal dan menghitung metode hisab. Saya hanya mencontoh apa yg Rasulullah lakukan. Karena pada zaman Beliau telah terjadi kasus yang sama.
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya ada seorang Arab badui datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya aku telah melihat hilal.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Maka Nabi SAW bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada masyarakat bahwa mereka harus berpuasa besok hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Lihatlah! Seorang Arab badui bersaksi meihat hilal, setelah diklarifikasi dan terbukti ia seorang muslim yang berakal sehat, telah baligh, dan shalih tidak fasik, maka Nabi SAW menerima kesaksiannya.
Dari sini imam Abu Tsaur dan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri menyatakan kesaksian seorang saksi yang beragama Islam, berakal sehat, berusia baligh dan shalih tidak fasik sudah sah untuk menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal.
Yang saya heran, kok ya di zaman skrg ada yg berani menolak kesaksian orang yang melihat hilal. Bertentangan dengan sikap Rasulullah pada saat itu. Kalo saya jd menteri agama, gak usah mikirin isbat atau hisab, wis, biar cepet “siapa yg bersaksi lihat hilal?” kalo udah ada yg bersaksi, tinggal lebaran besok. Kalo gak ada yg lihat, ya udah genepin jd 30 hari. Pake acara debat dulu, ormas mana yg dalilnya paling yahud, syaratnya hilal itu sekian, halah…keburu zionis cekikikan lihat umat islam yg begini!!
Nb: silahkan dibaca sikap sombong Kemenag (kalo gak salah isinya orang2 ormas XX y??) pd sidang isbat thn kemarin. Terlihat jelas mana yg gengsi. Maklum sih, mungkin malu sama ormas yg itungan hisabnya akurat…hehe
http://www.arrahmah.com/read/2012/07/19/21739-di-jakarta-hilal-terlihat-di-cakung-dan-cilincing-pemerintah-mengabaikan-lebih-hebat-dari-nabi.html
besok2…..
yg pake ru’yatul hilal, silahkan….
yg pake hisab, silahkan…
asalkan tidak mengabaikan orang yang telah bersaksi telah melihat hilal.
karena jika mengabaikannya adalah orang2 yg sombong. dan Allah tidak menyukai orang2 yg bersikap sombong.
Hwaaaaaaaaaaaaaa…panjang juga yah tulisan saya. Afwan jika tidak berkenan.
Love you Allah…telah melancarkan pikiran dan tangan ini untuk berkomentar.
Allahu A’lam..
Mau nanggapin yang ini.
saya ingin copaskan hadits-nya yah :
1. Dari Wail bin Hujr, berkata: Kami bertanya:
Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (dimana mereka) menahan hak kami dan mereka meminta haknya dari kami? Maka beliau menjawab: (Hendaknya kalian) dengar dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat, dan atas kalian yang kalian perbuat.
(HR. Muslim no. 1846 dari hadits Asyats bin Qais)
2. Dari Hudzaifah bin Yaman berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul (pula) ditengah-tengah kalian orang-orang (dikalangan penguasa) yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia. Aku (Hudzaifah) bertanya: Apa yang harus saya perbuat jika aku mendapatinya? Beliau bersabda: (Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.
(Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahihnya no. 1847 (52))
3. Dari Adi bin Hathim ra. berkata:
Kami bertanya:Ya Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang (ketaatan) kepada (amir) yang bertaqwa, akan tetapi bagaimana yang berbuat (demikian) dan berbuat (demikian) (Adi bin Hathim menyebutkan perbuatan yang jelek)? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Bertaqwalah kepada Allah dan (tetaplah) mendengar dan taat (kepada mereka).
(HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal hal 493 no. 1069)
4. Dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Wajib bagi kamu mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit ataupun mudah, semangat ataupun tidak suka, walaupun ia sewenang-wenang terhadapmu.
(HR. Muslim)
jadi pertanyaan mas “masih pantaskah ulil amri yg spt itu kita ikuti?” jawabannya masih, jika Mendengar & taat dalam perkara yang maruf, bukan dalam perkara maksiat.
sumber : http://abuaisyahmohdshukri.wordpress.com/tag/pemerintah-zalim/.
wallaahu a’lam
Syukron Katsir atas informasinya, semoga bermanfaat bagi umat…
“Sesungguhnya Allah lebih mengetahui dari apa yang kalian kerjakan”
“Untuk urusan dunia kalian lebih mengetahuinya”
Maaf, pengetahuan dan pemahaman agama saya tidak seluas anda semua, tapi hanya usul saja, “Gimana jika penetapan awal puasa dan 1 Syawalnya di Indonesia bergantian, sehingga pada 1 Syawal dapat merayakan bersama”, hanya untuk kepentingan “syiar” kok mas, gimana…….setuju gak………(terserah anda masing2 aja lah, menurut kemanteban hati kita)
wahai saudaraku kenapa kita terjebak dgn dikotomi ru’yah dan hisab.
bukankah ru’yah adalah ketetapan syariat dan juga hisab merupaka anugerah Allah kpd hambaNya yg berakal?
maka dalam penentuan awal puasa dan awal syawal serta pelaksanaan ibadah yg lain harus mengikuti nas syariat yaitu dengan ru’yatul hilal, dan bukan berarti dengan hisab tiidak boleh. Dengan hisab sangat memudahkan umat dlm melaksanakan ibadah namun yang perlu diketahui ialah harus menggabungkan antara hisab dan ru’yah. Konkritnya kita melakukan hisab dng sesuatu yg sesuai dng syariat, yaitu dengan menghisab kapan hilal bisa di ru’yah.
sebagai contoh syariat menetapkan mulai awal puasa apabila melihat hilal sedangkan ilmu pengetahuan berkesimpulan bahwa hilal bisa dilihat minimal ketinggian 2 derajad.
maka apabila kita mengisab hasilnya kurang 2 derajat harus menambah satu hari lagi untuk bulan yg berjalan dan apabila hasil hisab 2 derajat atau lebih maka dimulailah bulan baru atau mulailah tanggal 1.
inilah solusi terbaik dalam menerima ketetapan Allah( ru’yah dan hisab) dan jangan saling mengolok -olok diantara kita dalam rangka takarub kepada Allah. terimaksih semoga bermanfaat.
Sya tetap setuju dgn hisab, tapi syaratnya qta harus melihat dulu bulan, jika tdk trlihat qta baru hisab. alasan :
1,Penggenapan bulan sya”ban yg dilakukan Rasulullah adalah bnar krn tdk thu ilmunya, krn tdk mungkin malaikat jibril membawa wahyu cara perhitungan.
2.Sya prnah dengar qsah Rasulullah menanam pohon, sahabat tanya apakah cara menanam ini wahyu. Rasul jawab bukan, ini ilmu saya. ( bnar /tdak qsah ini sya tdak tahu)
sya pikir, ini analog dengan penggunaan hisab
3. Sya ingin bicara banyak , tapi bosen , biar aja ada perbedaan, toh qta blum punya qalifah pemersatu umat
4. perbedaan dakam umat islam hanya dpt dihapuskan dgan tegaknya qlafah dan syariat islam.
http://www.youtube.com/watch?v=u1nM2-e54HU
Yang pake rukyat benar, yang pake hisab tidak keliru, karena keduanya menggunakan sumber hadist dan Quran. Saya tidak mau lagi ada perdebatan seperti ini, demikian kata Umar ketika ada 2 orang yang berdebat sholat pake alas dan tidak pake alas.
Di jaman nabi juga banyak dua pertistiwa yang tampak berlawanan tetapi tidak ada yang salah. Ketika dua orang melakukan safari yang satu sholatnya dijama, yang lainnya tidak karena diperkirakan sampai di tujuan masih sempat sholat, tetapi setelah dilaporkan nabi kedua tidak salah. Dua sahabat nabi yang satu menyegerakan sholat Isa dan lainnya mengundur hingga malam, juga tidak ada yang salah di hadapan Nabi.
Apakah Anda menentukan 1 Sya’ban dengan melihat hilal? bagaimana anda tahu kalau bulan Sya’ban sudah 28 atau 29 hari?
Apakah anda menggunakan benah hitam dan benang putih untuk mengetahui batas waktu imsak?
Yang buat tulisan ini apakah Anda telah belajar Fiqh dan Ushul Fiqh…
Apakah sudah mempelajari perbandingan mazhab…
Kalau belum tak layak memperjuangkan tulisan Anda …
Kalau sudah Anda belum layak menjadi Ahli Fiqh…
Anda hanya pengikut saja tapi belum menjadi Ahli Fiqh…
Dalam Tulisan Anda Anda tidak mengedepankan Solusi dan jalan penyelsaian , tapi mengedepankan ego dan pendapat Orang lain tapi anda memaksakan pernyataan itu untuk bisa menyakinkan para pembaca…
Sayang Anda belum menyentuh pada lapisan dasar dasar-dasar penetapan hukum dalam Islam…
Referensi yang Anda pakai tidak dapat dijadikan bahan dasar rujukan tulisan Anda ..
berarti kalu tidak boleh menggunakan hisab, kita juga tidak boleh melihat jam untuk menentukan apakah sudah masuk waktu solat,?! dan pemerintah melalui departemen agama itu membagikan selebaran jadwal waktu solat dan imsakiah saat ramadhan itu apa dasarnya kalau bukan hisab?!
Tong kosong nyaring bunyinya.
MUHAMMADIYAH atau WAHABI ?.
Dunia islam lebih tahu mana yang benar diantara keduanya.
Assalamualaikum wr wb
Sy hanya ingin tanya. Dari tadi sy lihat anda tetap kukuh bahwa harus lihat hilal. tetapi tetap patokannya dgn ilmu hisab, berati disini sj anda sdh standard ganda (maaf).
Selanjutnya, mengikuti tulisan anda. Misal sesuai hitungan hisab ( hari ini misal 29 ramadhan), maka seharusnya hari ini / sore ini hilal awal syawal sdh sdh terlihat tetapi karena terhalang cuaca tidak terlihat. berarti ramadhan digenapkan 30. terus besokan ternyata saat cuaca cerah hilal terlihat dengan baik. tetapi penampakannya sdh tinggi dan berdasarkan pengalaman penampakan dan ketinggian spt itu sdh masuk tanggal 2 bukan awal bulan. nah klo begitu bgmn? siapa yang harus tanggung jawab? apa cuaca? atau siapa?
mohon pencerahannya
tks n wsslm
andy
Lha… Aku kudu kepiye????
nek ngikut melihat secara langsung hilal pandanganku terbatas,INI Sudah fitrahku sebagai manusia biasa,nek ngikut pakai teropong kok koyone ora mengikuti sabda rosul,Dan dianggap ketinggalan zaman Dan bodoh.
sedangkan Islam mengajarkan hari INI harus lebih baik Dari hari kemarin….,.
Bilang Hisab untui penentuan Ramadan itu gak boleh, keliru.
Tapi menentukan waktu berbuka, Imsak dan Fajar, memakai Hisab.
Disitu saya merasa bingung.
Sdr admin, sbrnya mana yg mjd penekanan dalam tema ini.
Ketaatan pd sunnah atau pemerintah?
1. Bgmn jika pemerintah menggunakan sistem hisab. apakah kita wjib taat jga.
2. Apapkah sewaktu dijajah dulu kta juga wajib taat pada pemeritah /kolonial. Setau saya, kolonial tdk akan menganggu umat islam asl tidak menyiggung masalah kemerdekaan atau yg sejenisnya .
Mas admin, apakah jika pemerintah memakai selain rukyat kita jg wajib patuh.
Misal pake hitungan jawa, hitungan spt kelmpk annadzir dll
Mas Admin..
bagaimana kalau untuk penentuan bulan Dzulhijah apakah dalil di atas (melihat hilal) juga berlaku?
mohon penjelasannya
ASSALAMUALAIKUM…
dari perbedaan aku bisa tau yang namanya ru’yatul hilal dan hisab….
seruh debatnya ,,,
dari situ kelihatan jelas orng yang cerdas tapi tdak cermat dgn cermat dan cerdas orng yang berkembang dengan yang jalan ditempat,hebat
Bagaimana. menentukan waktu sholat dengan hitungan hisab ?
Kita tdk mungkin mengukur bayang bayang matahari untuk menentukan sholat dhuhur, Asyar dst.
maaf mas, dikira2 itu ngga sama dengan dihitung (hisab) loh…maksudnya dikira2 itu kalo misal bayangan udah lebih panjang, dsb. Jadi kalo sampeyan selama ini sholat yang mana muadzin adzan pake jam waktu sholat, sholat sampeyan ngga sah loh… 😀