
Mengkritisi Bidah Hasanah dan Bidah Sayyiah
‘Setiap bid’ah adalah tercela’. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: ADA BID’AH HASANAH YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama,pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya : semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan : Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Nantikan pembahasan selanjutnya, tentang hukum bid’ah dan beberapa pembelaan mengenai bid’ah. Semoga Allah mudahkan.
Silakan baca definisi bid’ah dalam tulisan sebelumnya di sini.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com
Selesai disusun di Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)
Lihat juga nih, video durasi 7 menit yang mungkin bisa membuka cakrawala kita,.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=rk5-VKk7A5Y&rel=0]
1. Apakah penyusunan mushaf Al-Quran juga termasuk bidah karena di zaman rasul masih hidup hal itu belum ada?
2. Apakah menentukan awal puasa dengan ilmu hisab (ilmu falak) juga termasuk bidah
Assalamualaikum,
Saya punya temen anak pengajian tapi dia agak emosi kalo di terangkan bahwa Maulid Nabi, Tahlilan, dzikir berjamaah itu salah satu bid’ah dan dia menerangkan kepada saya jangan terpengaruh sama hal hal yang merusak umat terus dia bilang Bid’ah itu tidak berbahaya bagaimana tanggapan antum tentang pernyataan ini..
wassalamualaikum wr wb..jazakuloh khoir
Sy setuju
Sy setuju
“assalamualaikum
saya setuju…..
lalu apa yg pantas untuk sebutan alat” teknologi yg kini di pakai
dalam acara dakwah islamiyyah,,,,dan apakah di perboleh kan
menggunakan nya,,,”
mohon penjelasan nya,,dari antum..?
kbenaran dri allah dan rosul nya,,,jikalau mmang ad kslahan
dri ucpan atau perbuatan.kembalinya ke kitab dan sunnah,.”
pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Al Utasaimin rahimahullah, Syaikh Bin Baz rahimahullah perihal PENGGUNAAN HISAB sebagai alat bantu?
Bukankah mereka TIDAK MEMPERBOLEHKAN MENGGUNAKAN HISAB sebagai alat bantu Rukyat?
sudah jelas bahwa DEPAG sudah membuat ancar ancar ketetapan itu jauh jauh hari sebelum RUKYAT!
Jadi sekali lagi pada dasarnya Metode Ingkarul Rukyat di bawah 2 derajat itu adalah ILMU HISAB!
Kesimpulannya:
Kalau mau mengikuti penafsiran awal dan akhir puasa adalah “MELIHAT” (dalam arti melihat dengan mata) hilal maka siapa pun yg berpuasa mengikuti Depag atau persyarikatan Muhammadiyyah maka kedua duanya sama saja mengikuti kebid’ahan
Pertanyaan terakhir sebagai bahan renungan saja:
MUNGKINKAH ALLAH MENSYARIATKAN SESUATU YG BERTENTANGAN DENGAN SUNATULLAH SENDIRI?
Sudah jelas bahwa tanda tanda alam (sunatullah), dalam hal ini kemunculan bulan purnama, menunjukkan bahwa yang benar adalah perhitungan wujudul hilal, dan sudah jelas pula bahwa penetapan depag nggak sesuai dengan fkata alamiah yg merupakan sunnatullah.
Silahkan direnungkan sendiri!
Metode Rukyat digunakan karena Rasul tidak menghendaki KESULITAN bagi umatnya ketika itu, pada masa sekarang metode Rukyat justru menimbulkan banyak masalah!
Keyakinan yang aku pegang adalah NGGAK MUNGKIN ALLAH DAN RASUL-NYA MENGAJARKAN SESUATU YANG BERTENTANGAN DENGAN SUNATULLAH!
NGGAK MUNGKIN PULA RASUL MENGAJARKAN BAHWA UMATNYA BUKAN MENJADI UMAT YG CERDAS DAN BERILMU!
Gerhana yg ratusan tahun ke depan bisa dihitung dengan akurasi dan presisi yg sangat mendekati fakta, masak menghitung posisi bulan nggak bisa diprediksi?
Syariat islam itu memudahkan, bukan menyulitkan!
Susahlah kalau beragama nggak pakai ilmu pengetahuan
Kalau metode seperti itu anda terapkan di belahan bumi tertentu, bisa bisa orang2 di daerah dekat kutub, di wilayah wilayah sub tropis akan sholat dhuhur terus berminggu minggu karena matahari nggak tenggelam tenggelam atau isya terus berminggu minggu karena matahari nggak muncul!
setelah mengkaji seluruh dalilnya yang ada di Al-quran dan Al-hadits, coba ngaji fakta alamnya, coba ngaji sunatullah yang terjadi di alam ciptaanNya, lalu cari titik temu antara keduanya dan jangan pertentangkan antara keduany karena keduanya adalah ciptananNya !!!!!!!,
oke, jadi klo bid’ah itu sesat ngapain posting” disini juga, maen” internet, dolo di arab gak ada beras, ngapain skrng makan pke nasi ? ngapain skrng yg nulis artikel ini pake maen” handphone, di rumah lihat tivi sgala. klo semua BID’AH ITU SESAT, SEMUA ITU GK USAH DI LAKUIN ! Kanjeng nabi Muhammad SAW gak pernah ngelakuin itu semua, klo kita melakukan sesuatu yg tidak di lakukan kanjeng nabi (bid’ah) dalam segi positif, apa itu di sebut SESAT ? kyk yg buat artikel ini kan juga bagi ilmu, jadi yg buat artikel ini juga SESAT wlpun niat baik untuk membagi ilmu? kan yg nama nya internet itu BID’AH !! yaa wahabi berpikirlah sebelum bertindak. Bid’ah hasanah (terpuji) tetap hidup, dan sunnah tetap akan hidup, karna mereka beda PENGERTIAN. mana ada sunnah mati, itu udah anjuran kanjeng nabi.
assmualaikum.
maaf tolong di jelaskan se jelas” nya, saya ABG yg baru dengar istilah dari telinga ke telinga. jadi setiap perkataan atau artikel” orang yg menurut saya itu terpecaya dan masuk akal saya anggap BENAR, jadi klo ada yg menidak benari itu jadi rada penasaran kyk gini.
tahlil untuk kel kita yg meninggal, diba’an, dll termasuk bid’ah sesat juga donk
saya minta contohnya mas,,,,,,,, yang yang namanya bid’ah banyak terjadi di masyarakat itu?
Di bagian mana sesatnya tahlilan?
Kalimah “laaila haillallah” kah
atau do’a “ya Allah ampunilah dosa2 hamba, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat yg telah mendahului kami, ampunilah dosa si fulan bin fulan, dan tegarkanlah hati yg di tinggalkannya”
apaka contoh di atas merupakan Bid’ah sesat?
Anda tau arti kalimah tahlil di atas? Apa org berdo’a cuma hrs di masjid? Apa org mengagungkan asma Allah harus hanya pada wkt shalat saja?
Sungguh anda memang org yg bnr2 hebat
kalau di tempat sy yg tidak ikut tahlilan mereka anggap sbg ijtihat/kehati-hatian, krn mereka kurang yakin dngn hal trsbt, klw yg ikut tahlilan mereka anggap sbg ihtiar dalam memohon pengampunan diri dan org lain kpd Allah.
Waduh!!!
Jawaban anda juga sudah ngaco, kalau shalat emang sudah baku, cuma org gendeng aja yg melakukan shalat maghrib 5 roka’at.
Skrg sy juga mau tanya sama anda tentang larangan orang berdo’a dan mengagungkan asma Allah. Jangan jangan org mau shalat jum’at anda anggap sesat lantaran ketika di tanya anda mau kemana? Jawabnya “sy mau jum’atan” bukan “sy mau shalat jum’at”
Yg di pikiran anda cuma hari ke 7, ke 10 dst, padahal tu sama sekali tak ada kaitanya dengan yg namanya tahlilan.
Pak ustadz yg terhormat, jawabanya juga sy pending, skrg sy mau tanya dulu juga sama pak ustadz, kira2 ada ndak ya org islam yg shalat maghribnya 5 roka’at?
Kemudian hubungan org shlat wajib 5 waktu sama tahlilan apa?
Ok, ane kasih tau dikit ya pak ustadz, shalat itu emang sdh jelas rukun2nya, bahkan ketika shalat keluar satu kata/gerakan yg tidak ada hubunganya sm shalat trsbt maka gugurlah shalat trsbt, mungkin klw istilah anda shalatnya sesat.
Skrg, stlh salam, kita mau dzikir, mau do’a apa aja trsrh kita, sah2 aja, demikian juga org tahlilan, klw wkt shalat stlh baca Alfatihah trs tiba2 tahlilan lha anda bisa ngomong sesat, malahan sy dukung.
Demikian pak ustadz, sy rasa anda bukan org bodoh yg tdk tau/ tdk nyambung sama pembicaraan org.
Pak ustadz yg terhormat, anda mau bicara ngetan ngulon ngalor ngidul juga ujung2nya sama aja, mencari kelemahan org lain agar anda bisa mengesahkan utk di CAP SESAT oleh Anda.
Ane kasih lg
perbuatan, tingkah laku apapun manusia selama itu baik tidak akan sedikitpun bertentangan Alqur’an dan hadist, karena Alqur’an adalah tuntunan seluruh kebaikan, tak secuilpun kebaikan yg tertinggal oleh Alqur’an meskipun org trsbt sama skali tdk bisa membaca ataupun mengartikanya, sebaliknya, org yg fasih membaca Alqur’an dan hafal semua hadist, bisa jadi perbuatan org trsbut mlh bertentangan dngn Alqur’an dan Hadist itu sendiri.
Semoga bukan anda orangnya.
anda ini memprotes ritual tahlilan di hari ke 7, ke 10 atau ke berapalah, atau memaksa org supaya menjalankan ritual tahlilan hari ke 7 dst, anda lihat koment sy di atas.
Pak ustadz yg terhormat, klw anda posting di sini utk ngomong ngalor ngidul nuding org tahlilan SESAT sama sekali tak ada gunanya, jika anda bener2 mau menegakkan islam, silakan anda masuk kepada org yg melaksanakan tahlilan, anda cermati, jika memang bnr2 anda anggap sesat silakan anda jelaskan kpd mereka, itu jika anda punya cukup nyali.
Yg anda lakukan skrg ini sama aja dengan anda makan bangkai saudara anda sendiri, tau kan maksud sy?
Ane kasih tau pak Ustadz, yg tahlilan di hari ke 7, ke 40 dst mungkin memang ada, tapi tdk di jdikan sbg acuan atau patokan apalagi keharusan, itu cm skdr istilah, tahlilan bisa di lakukan kpn sj. Trs ada istilah ngirim do’a, itu istilah org2 yg sudah sepuh yg memang pemahamanya dari dulu cm sebatas itu, namun demikian org trsbt tdk bisa di bilang sesat, ane kasih contoh lg, anda makan pada jam 8, jam 12 siang dan jam 8 sore, menurut anda itu kewajiban atau karna terbiasa? Trs apa hal tersebut bisa di bilang suatu kesalahan?
Kembali lg ke soal tahlilan, kalau shalat memang sudah menjadi perintah langsung dari Allah, dan sudah di tentukan waktu dan dsbnya, tapi Rosulullah tidak pernah membatasi umatnya utk berdo’a dan mengagungkan asma Allah, sambil jalan, sambil tidur, sambil bekerja.
Sy tunggu lg jawaban anda.
bang roma bang roma, hehee…
gini deh, jawab pertanyaan saya tp bukan dg pertanyaan yaa…
sebelumnya disini saya bicara tentang ritual Tahlilan 7,10 hari dll, bukan bacaan tahlil, pahami ya…
1. orang ritual tahlilan menganggap ibadah bukan??
2. nabi Muhammad melakukannya gak atw bahkan mengajarkanyya??
3. ritual 7 hari 10 hari kematian dll, itu ajaran agama mana yaa??
kok melu melu loh, think about it!!
di jawab nggih….
contohnya bid’ah sesat terus masuk neraka itu pa saja ya mas aku g tau ,,,,,,? tolong di balas ya aku biar tau
makasih akhy inpone
salut sama roy, ketika manusia disuruh menggunakan akal (selagi dalam koridor aqidah) maka roy betul-betul bertafakur dan berdiskusi…. baguslah kalo umat muslimin seperti roy … tapi akhirnya memang hidayah Alloh yang berperan … bravo untuk kawan-kawan ikhwah yang suka berdiskusi
Tegak kan sunah, matikan bid,ah. Teruz berjuang akhi
Jika tiap bid’ah adalah sesat (dhalalah) berarti:
1. ketika adzan dengan speaker itu bid’ah, karena adzan pada zaman Rasulullah s.a.w. adzan tidak dengan speaker dan mic.
2. ketika sholat menggunakan celana panjang, karena pada zaman Rasulullah s.a.w. menggunakan gamis.
3. penyusunan mushaf al-Quran oleh Ustman bin Affan (Khulafaur Rashidin), karena pada zaman Rasulullah s.a.w. kebanyakan ayat al-Quran dihafal.
4. dakwah melalui internet, karena pada zaman Rasulullah s.a.w. berdakwah face-to-face.
5. pelafaldzan tulisan arab (fathah, kasroh, dhomah, dll), karena pada zaman Rasulullah s.a.w. tulisan arab beda dengan yang sekarang.
6. masjid menggunakan keramik, karena pada zaman Rasulullah s.a.w. masjid tanpa alas keramik.
dapatkah kita kembali seperti zaman Rasulullah s.a.w., sedangkan kita mengikuti perkembangan zaman ?
penamaan masjid contoh: Masjid Persis al-Hikmah
tidakkah itu bid’ah ?
tapi menurut al-Imamusy Syafi’i, bid’ah dibagi menjadi 2 karena pertimbangan dan penafsiran beliau…
jika menafsirkan suatu dalil, Anda harus mempunyai 15 ilmu (nahwu, shorof, dll), jangan menafsirkan sendiri, karena menafsirkan sendiri akan membawa hawa nafsu.
sekian, semoga kita termasuk ahlus sunnah wal jama’ah…’amiin
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=rk5-VKk7A5Y
mas Rifqi sebaiknya baca dulu dan pahami tulisan di atas, biar ga bertanya hal hal yg sudah di jelaskan di atas, baca juga diskusi pada komentar2 yg sudah ada, biar admin gak mengulang2 jawaban…
terima kasih.
admin semangat terus yaa……..
mohon maaf mas Rifqi Thefi Fauzi sepertinya link-link yang diberikan admin tidak pernah mas rifqi buka,
“saya jadi gregetan baca pertanyaan dan pernyataan yang mas rifqi tulis” hehehehe
masa harus saya yang awam ini yang ikut memperjelas kalau bid’ah sesuatu yang baru itu menyangkut masalah ibadah bukan masalah duniawi,
kan Nabi Muhammad juga sudah bilang kalo masalah dunia kalianlah yang lebih mengerti urusan kalian tapi kalau masalah ibadah, syari’at dsb kita-kita ini bergantung kepada Nabi Muhammad SAW
syukron…
satu lagi…
jika bid’ah itu benar – benar sesat, kita di Indonesia yang ingin berangkat haji haruskah naik unta ke makkah dan berjalan kaki ?
karena itu, bid’ah hasanah…janganlah menafsirkan hadist dengan sendiri 🙂
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=rk5-VKk7A5Y
Barokallahu fiik
Assalmualaikm
trima kasih atas ilmu yg sudah di berikan kami mudah-mudahan bisa menambah dan menjadi manfaat buat kami. jazakumullahu khairan…..
assalamualaikum
saya ini ABG, mau tanya. kalo maulid nabi itu haram, kenapa pemerintah tidak mengeluarkan hukum maulid nabi itu haram ?
berarti maksud anda para pelaksana pemerintah tidak paham ajaran islami yang benar ?
lalu anda merasa ajaran anda itu benar ?
tambahan lagi ini karena belum tegaknya syariat islam di indonesia jadi ya begini hehehe..
hehehe syukron..
sebenarnya, satu hal yang paling saya harapkan adalah BERSATUnya seluruh umat islam di Indonesia.
tapi setelah melihat berbagai hal (termasuk ini), saya rasa itu tidak akan mungkin terjadi.
terima kasih atas tanggapan anda, sebelumnya saya minta maaf jika saya berlaku tidak sopan.
wassalamu’alaikum wr wb
Sesama beragama Islam, yang sama-sama berikrar “Tidak ada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad Utusan Allah”, gampang sekali Anda-anda menjust-sesat dan secara tidak langsung Anda mengkafirkan sesama muslim. Na’udhubillahimindzalik.
Padahal menganggap sesama muslim kafir, bila itu tidak benar, akan kembali pada yang mengucapkan kekafiran itu. Berhati-hatilah dalam berucap.
Sebagai orang beriman, segala hal yang kita lakukan harusnya dikerjakan karena Allah SWT.
Lihatlah Surah At-Taubah ayat 122, disitu dianjurkan untuk mendalami agama, LIYATAFAQQOHU FIDDIIN, disini fi’il mudhori’, bukan fi’il madhi. Dan fiddin di sini adalah Agama, Islam tidak hanya membahas tentang ibadah tetapi semuuuaanya.
Kalau kata Anda di atas Al-Quran dijelaskan oleh Al-Quran sendiri. Bagaimana mungkin cara membaca Al-Qur’an diajarkan di dalam Al-Qur’an. Membaca Qur’an ini ibadah bukan? Penemuan titik dan harokat bukan pada zaman khulafaurosyidin, meliankan pada zaman dinasti ummayyah, itupun sesudah berjalan 40 tahunan. apa lagi ilmu tajwid, lebih jauh lagi dari masa Nabi, salah baca quran bisa beda arti lhooo. Ini adalah ibadahnya para ulama’ dengan mencurahkan ilmu yang dimiliki untuk kemaslahatan Ummat. Anda jangan membatasi ibadah.
Anda mengatakan sesuatu yang baru baik qouli maupun fi’li yang berkaitan dengan ibadah itu bid’ah. Tapi in-konsisten dengan kasus di atas.
Terlalu mempermasalahkan Furu’iah sehingga melahirkan perpecahan dalam tubuh Islam. Orang kafir sudah sangat maju dengan teknologinya. Anda malah sibuk mengkafirkan sesama muslim.
Kelihatannya intelek tapi malah menghambat persatuan dan kemajuan Islam. Contoh dong para ahli fiqih, yang saling menghormati dalam perbedaan praktek ibadah. Dasar ya, pengennya Islam pecah atau gimana??? Aku melihatnya kelompok kalian emang parasit ditengah Indahnya Islam. Sebaiknya anda berfikir bagaimana Mengislamkan Indonesia, bukannya mengkafirkan sesamanya.
kalu Anda bilang semua Bid’ah itu sesat. ya sudah, Anda juga termasuk didalamnya, cuma Anda enggak mau mengakui karna sudah kepepet dan banyaklah alasan yang itu alat lah, urusan duniawi lah. mana ada berkaitan Al-Qur’an urusan duniawi tok, Al-Qur’an ini Firman Allah, Kalau urusan dengan Allah, Vertikal, ya urusan ibadah.
Mana bilang mustahil Islam bisa bersatu lagi,,,, Memang gawat di atas gawat kalian ini.
Assalamualaikum wr.wb
pak admin yg di rahmati ALLAH,
Saya ini orang awam dalam masalah sprt ini, klw sy lihat dari tulisan bapak kelihatan berputar-putar bikin kliyengan menurut saya, inti tulisan bpk adalah mencela org2 membaca tahlil secara berjamaah/atau mendoakan org meninggal scr berjamaah, skrg sy pengen tau, bedanya bid’ah scr bhs dngn bid’ah yang bpk maksud tu apa? Bukankah itu sama2 bernama bid’ah, bukankan setiap bid’ah itu sesat tanpa pengecualian?
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=rk5-VKk7A5Y
Terus saya minta pak ustadz jelasin hubungan antara Alqur’an, hadist, qiyas & ijma’,
kemudian jaelaskan dan hubungkan dengan hukum bid’ah
yg saya tau bid’ah itu artinya cuma satu, sesuatu yg tidak pernah di kerjakan/di contohkan Rosulullah s.a.w.
Bpk ustadz naik Motor?
Apa Rosulullah s.a.w pernah naik motor?
Bid’ah ya bid’ah, klw pak Ustadz meyakini bid’ah adalah sesat, ya sesat, kalau bid’ah tidak boleh di bagi bagus dan sesat.
Mohon ma’af jikalau krang sopan, wallahu a’lam, fonis baik dan buruk hanya Allah yg menetukan, dalami terus barangkali masih ada yg terlewat sebelum menyebarkanya, kita cuma manusia biasa, sangat jauh dari sempurna
wassalamua’alaiku wr.wb
Assalamualaikum wr.wb,
Okelah kalau begitu, lanjut lagi, berarti pandangan anda tentang tahlilan itu cuma sebatas itu, yg munkin di karnakan ketidak sukaan aja.
Siapa yg bilang kalimah Laaila haillallah itu utk mendoakan mayit?
Yg nyeleneh siapa hayo?
Trs ada hari ke 7, ke 10, dst anda tau dari mana?
Trs pasukan Rosulullah ketika perang selalau meneriakkan kalimah tersebut, trs anda sudah merasa merdeka dan tak ada lagi perang? Sehingga sdh tak perlu lagi dengan kalimah trsbt.
Rosulullah s.a.w pernah menyuruh sahabat utk memberi uang kepada org yg keluarganya meninggal dan menghiburnya agar tidak terlarut dalam kesedihan, anda pasti lbh faham maksudnya, kalaupun ada yg mengartikan lain tentang tahlilan trsbt bukan tugas anda tuk mencela, tapi seharusnya meluruskanya, apa anda pikir yg tau hadist tentang bid’ah cuma anda tok?
Trs apa yg melakukan tahlilan cuma 5 sampai 10 glintir orang? Mungkin juga jauh lebih banyak di banding yg tidak, termasuk anda, Apa anda pikir mereka tidak punya dasar yg kuat? Apa anda pikir di banding mereka semua cuma anda yg paling mengerti hadist? Ingat, jika tidak hati2, anda bisa menjadi salah satu penyulut perseteruan dalam Islam.
Cari tau dulu, pelajari dulu, pahami dulu barangkali ada yg masih terlewatkan sehingga tdk tersambung dengan benar sebelum anda menyebarkanya, karana manusia sangatlah jauh dari kesempurnaan.
Wassalamu’alaikum wr.wb
aku gemes’e…
kenapa orang yang mengutip sabda dan ajaran Nabi MUhammad SAW justru di cela, di anggap penyulut perpecahan islam dll, tetapi mereka lebih menerima ritual ajaran agama lain ex: ritual kematian atau diganti oleh mereka menjadi ritual tahlilan ( inget ritual tahlilan bukan bacaan TAHLIL).
coba kalian berani gak cela sabda Nabi MUhammad SAW langsung!!!!
ibadah kok di buat buat, semua bidah itu sesat. inget SEMUA!!!!!
ITU NABI YG BILANG.
Assalamu’alaikum wr.wb
Pak admin rada curang nich!
Komentar yg bisa anda batah anda pajang trs, sementara komentar yg tdk bisa anda bantah di hapus semua.
pak admin ini maunya bener menurut anda sendiri aja, yg lain di tutup-tutupi.
Tak apalah…
Biar jelas semua bidah itu sesat atau tdk silakan kunjungi
http://muslim.or.id/manhaj/ini-dalilnya-5-makna-setiap-bid’ah-adalah-sesat.html
Wassalamu’alaikum wr.wb
hee sblmnya maaf nih mas admin, pertanyaan diatas itu mksd saya ditujukan bwt bang roma hermawan, alhamdulillah saya sudah sdikit paham asal muasal bidah tsb, smoga bang roma bisa baca dan paham dr link yg di kasih mas admin.
Amiin.
Orang yang menganggap tahlilan itu baik, sama saja dengan menghina rosululloh…
1. tidak ada dalilnya
2. menyesatkan banyak orang
3. menganggap bahwa rosululloh itu bodoh, karena hal baik seperti ini saja rosul tidak tau (bukan maksud saya menghina rosul)
4. kalo memang rosul tau bahwa ini perbuatan baik, berarti rosul bukanlah seorang yang tabligh (menyampaikan), karena tidak ada dalil quran atw hadits shohih pun yang menyampaikan tentang tahlilan
kalo memang tidak ada contoh dari rosul, mengapa repot2 orang berbondong2 tahlilan ke rumah si mayit.. bukannya jadi berkah bagi si mayit, malah jadi susah & madarat,
sedangkan kita dilarang menyusahkan keluarga si mayyit (haram)
apalagi yang lebih mirisnya, setiap orang yg pulang dari tahlilan, pasti selalu bawa cangkedong (bingkisan) dari keluarga si mayit.. bukankah itu menyusahkan keluarga mayit..?
coba fikir lagi buat yang suka tahlilan..
maaf apabila menyinggung… sudah fakta mass…
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=rk5-VKk7A5Y
Seru membaca perdebatan admin dan Roma Hermawan.
tapi dari situ saya kok cenderung lebih masuk akal penjelasan admin.
sangat jelas!!
itu kalo menurut saya pribadi, kalo ada yg mau menyangkal pemikiran saya diatas mohon di benarkan ya. maaf jika ada yang tersinggung…
curhat AKH….
keluarag sy adalah penggemar tahlilan kelas ka2p
waktu kkek sy wafat kamipun melaksanaakan tahlilan apa yang kami dapati setelah hari ke 7????
– pertengkaran antar anggota keluarga soal dana tahlilan
– capek begadang nungguin tenda dan alat2
-capek ngelayani tamu
– anggota yang nyumbang akhirnya saling ungkit pemberian
– capek mengembalikan alat2 yang dipakai untuk tahlilan
– dan masih banyak lg yg lainnya
bukankah seharusnya kami sbg keluarga duka semestinya mendapat istirahat yang lebih?
agar kesedihan kami sedikit hilang?
bukankah seharusnya kami dihibur oleh orang2 yang bertakziah? tapi kenapa justru kami yang menghibur mereka
bukankah seharusnya mereka menolong kami?
tapi kenapa justru kami yang menolong untuk makanan mereka?
setelah saya berilmu sungguh apa yang telah kami lakukan TERTOLAK
yang pasti orang berdo’a itu harus ikhlas apakah semua yang datang itu ikhlas? atau sungkan? atau bahkan mereka berfikir jikalau bukan tetangga niscaya saya tidak akan hadir di acara ini, bukaankah ini menunjukkan ketidak ikhlasan mereka?
wassalam dari saudaramu yang jauh di sumatera
mana berani saya menafsirkan hadits sendiri, saya belum punya ilmu nya…
ulama-lah yang menafsirkan hadits tersebut, saya harap admin membaca kitab2 ulama2 terdahulu seperti karangan Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Ghozali, Nawawi…
sepertinya Anda pengikut faham Wahabbi ?!
PUISI UNTUK “mu”
Aku pergi tahlil, kau bilang itu amalan jahil
Aku baca shalawat burdah, kau bilang itu bid’ah
Lalu aku harus bagaimana ?
Aku tawasul dengan baik, kau bilang aku musyrik
Aku ikut majlis zikir, kau bilang aku kafir
Lalu aku harus bagaimana ?
Aku shalat pakai niat, kau bilang aku sesat,
Aku adakan maulid, kau bilang tak ada dalil yang valid
Lalu aku harus bagaimana ?
Aku ziarah, kau bilang aku ngalap berkah
Aku slametan, kau bilang aku pemuja setan
Lalu aku harus bagaimana ?
Aku datangi yasinan, kau bilang itu tak membawa kebaikan
Aku ikut tarekat sufi, malah kau suruh aku menjauhi
Baiklah…baiklah….
Aku ikut kalian saja :
Kan kupakai celana cingkrang, agar kau senang
Kan kupanjangkan jenggot, agar dikira berbobot
Kan kuhitamkan jidad, agar dikira ahli ijtihad
Aku akan sering menghujat siapapun, biar dikira hebat
Aku akan sering mencela, biar dikira mulia….
Ya sudahlah…..
haha … setuju tuh buat balesan dari kang admin… hehe
Balasannya mantap.
SKAK MAT
maaf ya mas/kang rifqi,dulu saya sependapat denganmu tapi sekarang saya benci pendapatmu itu…saya juga bs dikatakan mantan aktifis bid’ah mas…tp alhamdulillah Allah telah membukakan pintu hati saya dan msh memberi saya kesempatan bertaubat..
gini lho mas,orang hindu aja banyak yang masuk islam karena mereka keberatan dengan acara2 yang mereka (orang hindu) wajibkan seperti slametan,3hari,7hari,mendak setelah meninggal,dll..
para muallaf ini sadar dan menilai Islam adlh agama yg plg benar,agama yg sempurna,tidak memberatkan siapapun dan agama yang masuk akal…
tapi anehnya kenapa yang orang islam malah ikut2an ajaran mereka (orang hindu)???
yang diajarkan di Al-Quran dan sunnah aja banyak yg belum diamalkan kok malah mengamalkan ajaran agama lain…
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un…
benar sekali balasan dari mas admin….setuju sekali…
ya sudah pak admin…pemahamanmu pemahamanmu dan pemahamanku pemahamanku,,
saya hanya ingin memberi tahu bahwa Wahabbi / Ibnu Taimiyyah itu dicap SESAT oleh para ulama yang se-zaman dengannya,,
dan saya mengikuti para ulama, karena ilmu mereka tinggi,,
Maulid Nabi pula di adakan dan DISETUJUI oleh semua ulama se-zaman dengan pencetusnya,,
jika Anda keras kepala,,
pikirkanlah, bahwa judul posting Anda sudah menyinggung kami,,
saya tidak berkata: “Tarawih 11 raka’at itu sesat”, karena saya mengerti bahwa pemahaman mereka tentang sholat tarawih adalah 8 raka’at dengan 3 witr,,
sekarang golongan Anda berkata: “Tarawih 23 bid’ah”, mana rasa menghormati sesama muslim ? … jika orang2 islam seperti ini terus mana bisa bersatu seperti dulu ?!
maulid bid’ah, tawassul bid’ah, ziarah bid’ah, dzikir bid’ah, shalawat bid’ah, sayyidina bid’ah,,
terserah pemahaman Anda, yang penting kita satu aqidah, tiada ilah selain Allah dan muhammad adalah utusan-Nya,,
sekarang apabila kami mengamalkan amalan diatas, lalu kami mempersekutukan Allah dan menyimpang dari ajaran Rasul seperti Syi’ah, baru di gugat pak,,
ieu mah sa’aqidah keneh meni paguntreng, dasar teu boga ka era…
eleh eleh, kumaha atuh eta…
hehee.
kang rifki, logikanya jelas banget, Nabi Muhammad SAW, para sahabat bahkan imam yg 4 pun kagak pake acara maulidan, tahlilan, yasinan dan yg bid’ah2 lainnya.
sok, coba,?!, dari mana atuh eta ajaran???
makan dau ubi tidak ada dalilnya jadi termasuk sesat
setelah membaca semua pndapat jemaah muslim diatas,byk skali pndpt yg msh blm dimengerti, sprti mtor,Hp,dll. yg itukan sdh jelas bkn amalan.
yg disebut bid’ah itu adalah amalan2 yang tdk ada dijaman Nabi dan para sahabatnya itulah yg disbt bid’ah entah itu amalan apa aja,bkn begitu pak. marhaban anak itu sdh ada blm dijaman Nabi dan para sahabatnya
Terimakasih mas amri, betul sekali, bidah itu hanya pada amalan ibadah, bukan sarana penunjangnya, atau urusan dunia seperti mobil,hape,dll, sebaiknya baca postingan yang ini, agar jelas apakah mobil,hape,dll itu adalah bidah atau bukan, silahkan meluncur kesini
trima ksh pak, sekali lg sy mau bertanda ” marhaban menyambut kelahiran anak itu termasuk bid’ah bkn,” trus gimna caranya untk menolak undangan tauziah,padahal itu tetangga sebelah rumah, sy msh blm bs meninggalkan hablum minnanas. apakah sy sdh termasuk ahli bid’ah. tlg sy pak ustad sy bingung menjelaskan kpd saudara2,temn,ttnga,
jd apa yg sy lakukan slama ini salah,apakah sholat jum’at 2x azan apakah itu termasuk bid’ah.apakah do’a bersama stelah sholat berjemaah itu trmasuk bid,ah.
trus gmna cara menolak undangan dr orang marhaba,sdgkan Rosul bersabda datanglah dan makan lah ditmpt orang yg mengajak untuk hadir, saya msh bingung…..
tlg jelasnya
untuk masalah tahlilan,maulid dan lain sebagainya saya setuju itu merupakan bid`ah tapi mengenai hisab itu perlu di telaah dengan cermat, di dalam alqur`an pun Allah telah menjelaskan tentang perhitungan bulan, yang di permasalahkan sekarang adalah baginda nabi tidak pernah menentukan awal atau akhir puasa dengan hisab, makanya hisab di katakan bid`ah.
sekarang saya mau tanya di jaman nabi bagaimana mereka mengetahui bahwa telah masuk bulan baru sehingga mereka telah siap2 untuk melihat hilal seperti yang kita lakukan sekarang.
menurut pendapat saya.. di jaman nabi fenomena alam tidaklah seperti di jaman sekarang sehingga tidak menyulitkan pandangan untuk meliihat hilal, maka dari itu ilmu hisab tidaklah di pakai, kalaupun hisab dikatkan bid`ah berarti saat melakukan shalat pun kita sudah melakukan bid`ah karena melakukan shalat berdasarkan waktu dari perhitungan hisab, jam sekian waktu shalat subuh, jam sekian waktunya shalat dzuhur dan sterusnya. mohon pencerahannya
yang pasti kita ikuti saja apa yg di perintahkan Allah dan rasul nya
kalau ada dalil bid’ah itu sesat ya berarti sesat,jangan dilakukan
wallahu a’lam
Aslkm, Wr. Wb
Disatu sisi sy sepakat bahwa semua Bi’dah itu adalah Sesat dan semua yg sesat tempatnya di Neraka dan itu artinya tdk ada istilah Bi’dah yg khasanah (sebaik2nya Bi’dah)
Cuman satu yg luput dari pengamatan kita yaitu kita harus melihat lebih dalam lagi makna “bahwa semua Bi’dah itu adalah Haram”. Maksud sy adalah kalau kita kaitkan antara Bi’dah yaitu sebagai sesuatu yg baru yg “haram” maka kita harus melihatnya bahwa “sesuatu yg baru disitu” (bi’dah) adalah sesuatu yg telah (ada) dan telah diatur dalam Al-Quran atau Hadist Nabi secara pasti (jelas) akan sebuah perkara dalam agama yg bertentangan apa yg telah di atur dalam Al-Quran atau Hadist Nabi tersebut. Artinya Kenapa semua sesuatu yang baru (bi’dah) dikatakan haram karena hal baru tersebut bertentangan dgn apa yg telah di tetapkan oleh Al-Quran dan Hadist.
Contoh, Anjing itu Najis kemudian ada yg berpendapat bahwa anjing itu tdk najis maka itulah yg dikatakan Bi’dah, karena mengada-adakan hal yg baru yg bertentangan dgn apa yg telah ditetapkan sebelumnya.
Jadi Intinya Bi’dah itu hanya berbicara atau berkaitan pada sesuatu hal yg “SUDAH ADA” aturannya atau telah di atur atau telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadist yg kemudian dirubah (Bi’dah). Perubahan itulah yg dimaksud adalah “hal yg baru” yang secara pasti bertentangan dgn aturan sebelumnya makanya dikatakan “Semua Bi’dah itu adalah Haram”
Bi’dah (hal baru) tidak berkaitan dengan suatu hal yg “BELUM ADA” kemudian diadakan, karena kalau kita katakan bahwa semua hal yg baru (bi’dah) itu adalah haram termasuk sesuatu yg belum ada juga itu adalah haram, maka makna pengharaman disitu akan menjadi tidak bermakna dan tidak jelas dan bahkan kita akan “tersesat”.
Contoh dalam kasus Bank, Bank adalah sesuatu hal yg baru yg tdk ada di zaman Nabi meskipun kita memberinya lebel “Bank Syariah” tetap hal tersebut adalah haram karena merupakan bi’dah yg tdk pernah di ajarkan oleh Nabi, namun secara Akal sehat hal tersebut adalah memiliki faedah yg begitu besar.
Contoh, dulunya Al-Quran ditulis di pelepah kayu ataupun Tulang sekarang kita telah membaca Al-quran melalu HP, ini juga adalah Bi’dah karena merupakan hal baru yg dulunya tdk ada kemudian di ada-adakan.
Jadi menurut sy harus kita perjelas dan menarik garis lurus bahwa “Bi’dah (hal baru) Hanya berkaitan dgn sesuatu yg telah ada dan Bi’dah (sesuatu yg baru) tidak berkaitan dgn sesuatu yg belum ada”. Bi’dah hanya bisa dikatakan Bi’dah ketika sesuatu hal baru itu bertentangan dgn Al-Quran dan Hadist Nabi.
Wasalam,
Tambahan :
Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah (hal baru) di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46])
seperti juga telah disinggung dalam ayat di atas, bahwa Rosul (Muhammad) disitu tidak membawa hal baru (bertentangan) dgn apa yang telah dibawah (hal yg sudah ada) oleh Rosul-rosul Allah sebelumnya. Artinya Hal yang baru (bi’dah) disitu hanya berkaitan dgn “HAL YG SUDAH ADA” bukan Hal “BELUM ADA”
Wasalam
inilah jeleknya diskusi tulisan, capek bacanya jg nulisnya. pa lg kadag yg udh dijelasin harus diulang krn ada yng blm baca langsung komen.. bgt pula aku… maaf jk ud dibahas.
1. perkataan umar amat jelas… dan tidak boleh diartikan makna lughawi, beliau saat mengatakan itu dlm kapasitasnya sebgai khulaaurrasidin, bukan sedang bersair, atau mengajar sastra…
2. baca sejerah pembukuan Al-Quran, apa saat diusulkan lagsung diiyakan oleh yg lain?
tdk……! krn para sahabat itu wara’, dan takut dgn bidah.. tp akhirnya disetujui setelah sampai kedalam hatiereka kebenaran… apa kalimat yg merela ucapkan…
sekali lg ucapan mereka bukan sebagi penyair atau guru sasta bahasa yg boleh diaryikan skdar lughawi…
beliau-beliau itu tidak layak dikatakan bernmain dgn syriat agama. tdk sprti org awam sekarang kalau udh ttlanjur ngatain bidah, berapa dalilpun gk akan ngaruh, krn dr awal bukan karena wara, tetapi krn kedengkian
3. saya suka dgn alasan antum mengenai tarwih berjamaah, yg maknanya itu adalah sunnah karena telah dikatakan oleh khulafaurrasidin yg telah diakui oleh Nabi saw.
bukankah dua adzan jumat itu juga oleh lhulafaurrasidin yg diakui nabi..
apa bedanya dgn trwih berjamaah dan kunut subuh….
ketiganya adalah sama sunnah khulafaurrasidin yg telah diakui nabi sblm beliau wafat…
dgn demikan mengikuti khalifah yg 4 tdk ada yg bid’ah, tdk pula menyelisihi agama ini telah sempurna…
justru pengkuan nabi adalah wujud kesempurnaan islam….
Waduh, panjang sekali jumlah komentarnya, saya hanya ingin berkata : Semoga Gusti Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua, Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan, selalu bisa mensyukuri nikmat Allah, selalu saling menyayangi sesama muslim, saling menghormati, semoga dijauhkan dari kebencian di hati kita. amin.
yang marah marah biasanya suka bid’ah
mereka marah karena mereka bingung ngga tau harus membela diri dengan dalil apa?
karena semua perkara bid’ah memang tidak pernah dilakukan di jaman Rasul
ayolah bersatu
jangan kalian berkomentar cuma marah marah
nuduh nuduh
ngakunya di tuduh
eh ujung2nyanuduh
tuh
jadi keluar munafiknya kan
mendingan tanya baik2
tapi kalo udah ada dalilnya ya tinggal diklarifikasi sama ahlinya sana
jangan kalian berkomentar cuma marah marah
kalo ternyata saudara benar dan baik si penanggungjawab di sini juga saya yakin bakalan mengerti
yang jadi masalah kan
ada yg berkomentar dan cuma marah marah
lalu diam setelah dipaparkan dalilnya
sebaliknya kalo ternyata yang tulisan-tulisan disini benar ya tinggal di copy paste…
klarifikasi
amalkan
SELESAI
GITU AJA repot sampe manggil2 sunan sama neriakin orang orang di luar negeri sana
blog ini adalah 1 cara berdakwah
berdakwah sama yg kafir, juga yg muslim yang tersesat
harusnya kalo memang kita salah, kita seneng ada saudara yang mengingatkan
eeeh malah marah marah…
nabi kita ummat islaam adalah RasulULAAH Muhammad SAW, beliaulah yang seharusnya jadi panutan kita dengan tuntunan AL Quran titik.
ISLAAM ya ISLAAM, kalo ada ISLAAM koma bla bla bla… berarti bukan ISLAAM
gitu aja kok repot,
LAA HAU LAA wa LAA KUWWATAA ILAA bILLAAH
saya hidup di lingkungan masyarakat penuh bid’ah.
saya sendiri ketika melihat kondisi keluarga yang malah ribut mencari uang untuk acara tahlilan ke 7 40 100dst hari bahkan sampai hutang di bank, saya langsung berfikir ” islam itu mudah ini malah mempersulit diri”.
cukup mendoakan si mayid itu disetiap hari setiap selesai sholat. mungkin pelaku bid’ah khusunya tahlilan yang belum merasakan sendiri gimana susahnya mencari uang sampai berhutang2 kesana kemari untuk membeli makanan yang harus dipersiapkan untuk orang2 yang diundang tahlil,
bayangkan sampai harus hutang cuma agar bisa melakukan tahlilan di hari ke 7 40 100 dst kalau tidak maka masyarakat akan mencela “kok tidak diadakan acara tahlilan ke 7 40 dan 100?
wah berarti anda teroris ya? kan ajaran teroris yang berjenggot2 itu lho yang anti tahlilan -astaghfirulloh-”
cukuplah hanya mengikuti apa yang rasulullah contohkan, bahkan masih buanyak ibadah2 sunnah yang rasul contohkan saja belum bisa kita lakukan semua, eh ini malah membuat aturan ibadah baru yang bagi anda pencetus tahlilan mungkin baik tapi bagi saya masyarakat sangat MERUGIKAN.
tidak cuma tahlilan tapi juga ziarah kubur dikhususkan sbelum puasa, nanti pasti juga ada biaya untuk masak2, dll. tiap hari masjid penuh dengan acara bid’ah, hati ini sedikitpun sama sekali tidak tenang, dan dengan meninggalkan bid’ah itu lalu hanya mengfokuskan diri pada amalan2 wajib dan sunnah rasul baru hati ini tenang merasa hidup,
mau di kata teroris hati ini tetap tenang,saya malah senang karena yang mencela memberi saya pahala gratis.
Saya sangat kagum dengan admin blog ini, saya belajar banyak dari dialog kalian dan semakin saya membaca komentar2 kalian, semakin saya bisa lebih memahami tentang bid’ah dan sunnah
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﺍﻟﺘَّﺤْﻘِﻴْﻖُ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﻨْﺪَﺭِﺝُ ﺗَﺤْﺖَ ﻣُﺴْﺘَﺤْﺴَﻦٍ ﻓِﻲْ
ﺍﻟﺸَّﺮْﻉِ ﻓَﻬِﻲَ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ، ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﻨْﺪَﺭِﺝُ ﺗَﺤْﺖَ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒَﺢٍ
ﻓِﻲْ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉِ ﻓَﻬِﻲَ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒَﺤَﺔٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Bagaimana pendapat anda tentang perintah umar kepada abu bakar,yang menyuruhnya untuk membukukan Alquran?
Sedangkan jawaban abu bakar adalah “bagaimana bisa aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rosulullah SAW?
Tpi kemudian hal itu terlaksana,selesai dijaman ustman dan disetujui oleh ali.
Terimakasih,
Semoga Allah selalu melindungi umat muslim didunia ini,Amin….
Anda tau bagaimana asal muasalnya ada tahlilan?
Dijaman para penyebar agama islam dinusantara(wali songo),para penduduknya jika ada sanak dan tetangga yang meninggal,mereka mengadakan judi,minum2 arak.dan itu adat.
Dan adat tidak bisa dihilangkan,jika dihilangkan maka akan ada penolakan dan pergesekan.yang benar adalah Mengislamkan adat,budaya,kebiasaan yang tidak mencerminkan islam.maka tahlil adalah solusi dari para wali untuk menarik minat orang non muslim agar senang menjadi muslim.
Para wali hampir mengislamkan Nusantara,mnk anda juga menjadi muslim krn jasa Beliau2.
Para penuduh bid’ah diindonesia skr ini,seperti anda,bisakah anda mengislamkan sisa rakyat nusantara yang belum menjadi islam?
Itu kira2 hanya 2%.bisakah anda?
Menurut saya,tahlil bisa menjadi Bid’ah jika orang yang mengadakan tahlil beranggapan bahwa tahlil adalah wajib atau sunnah.tpi jika menganggap tahlil sebagai suatu adat,itu bukan Bid’ah.
Saya yang mengamalkan Tahlil,tidak pernah menganggap tahlil itu suatu kewajiban atau sunnah,dan saya yakin hampir rakyat indonesia tau klau itu bkan kewajiban atau sunnah.Maka dari itu,sesungguhnya diatas segala galanya adalah ilmu pengetahuan kita tentang agama yang terpenting.ada kiasan,tidurnya orang yang berilmu seperti sholatnya orang yg tak berilmu (ilmu agama).
Memang banyak orang yg menganggap tahlil itu wajib atau sunnah,itulah orang yang ilmu keagamaannya rendah..
Terimakasih,maafkan saya jika ada kata2 yang menyinggung.sungguh maafkan saya..
AllahuAkbar
kenapa kalian tak berdakwah saja di amerika latin,, yang 99% penduduknya kafir,,,
rukun islam itu 5 rukun iman itu 6,, kalau mereka masih berpegang teguh pada kedua hal tersebut berarti mereka tetaplah muslim yang beriman,,
jadi yang berhak menilai agama seseorang hanyalah ALLAH SWT,, kalau memang kalian gigih menyebarkan islam mestinya kalian dakwah di benua amerika,,,,
tau kenapa jazirah arab kacau balau,, karena otak mereka seperti kalian,,
“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya.
Mereka membaca Alquran dan mengiranya sebagai pembela mereka, padahal ia adalah hujjah yang menghancurkan alasan mereka.
Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya.” (HR. Abu Dawud)
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”.
Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”.
Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3201).
Assalamualaikum..
Bermanfaat sekali yg di bahas.
Jadi menambah wawasan.
Karna saya adalah awam dr segi bid’ah..
saya ingin tanya pada admin.
Rosulallah adalah (umi) yakni buta hurus baik membaca ataau menulis..
pertanyaan saya jika jika semua yg di lakukan umat islam sesduah wafatnya rosulullah itu bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.
BAGAIMANA DENGAN HUKUM MEMBACA AL QUR’AN SEDANGKAN ROSULALLAH TDK PERNAH MEMBACA. ROSULALLAH HANYA MENGHAFAL.
SALAM
Asslmualaikum pak,
sy mau tny,,mf bd dri bab di atas
d kmpng sy kn ada org2 yg agak stress,,hilang ingtan..ktnya si mereka mnntut ilmu gak ksampean..jdinya kyk org gila,.prtnyaan sy mmng btul bgtu pk ustd??
Assalamu’alaikum wrb
jujur tahlilan merupakan “moment” yang saya tunggu-tunggu ketika masih kecil bukan apa-apa tapi ngarepin berkat sama “sajiannya” hehehe itu juga terus saya lakukan sampai saya sekolah karena kapan lagi dapat makan gratis 😀 *jadi malu*
hingga suatu ketika saya menanyakan hal tersebut kepada Bapak saya (Alm) dan beliau menegaskan bahwa hal itu tak ada landasan syar’i nya,saya pun menjadi penasaran, lalu saya mencoba mulai mencari dalil tentang tahlilan dan referensi mengenai hal tersebut,
kebetulan juga Alm bapak saya memiliki referensi buku kumpulan hadist-hadist shahih bukhari & muslim dan buku fiqih 4 mahzab, saya juga mulai mengikuti beberapa pengajian teman dan mencari referensi dari ustadz pengajian,
setelah saya pelajari ternyata saya temukan bahwa tahlilan itu memang tidak pernah ada contohnya, adapun dalil atau hadist tentang tahlilan kesemuanya dho’if (lemah) dan tidak berdasar justru rasul malah mengajarkan agar membantu sesorang yang sedang tertimpa musibah, Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka. ” (H. R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
jujur ini sangat sekali masuk akal, karena etikanya pada orang sakit saja saat kita membesuk atau menengoknya kita pasti membawa bingkisan seperti buah-buahan atau kalau tidak kita sekedar datang menjenguknya sembari menghibur serta mendoakannya agar cepat sembuh, itu adab menjenguk orang yang sedang sakit, lalu bagaimana dengan yang sudah meninggal dunia?
bahkan rasulullah sendiripun menganjurkan para sahabatnya untuk menyediakan makanan untuk keluarga almarhum bukan sebaliknya,
subhanallah..inilah ajaran islam yang agung dan mulia, jika yang yang sedang mengalami musibah meninggal dunia ini orang berada dan berkecukupan,lalu bagaimana dengan yang hidupnya yang kurang berkecukupan atau menengah kebawah?
jujur saya saksikan sendiri bagaimana diantara mereka ada yang mengeluarkan biaya lebih bahkan sampai meminjam bahkan mengutang kepada saudara maupun orang lain untuk bisa mengadakan acara tahlillan ini,
kalau saya lihat bukankah ini memberatkan namanya?
harusnya rezeqi yang ada atau yang telah diwariskan harusnya dimanfaatkan bagi keluarga yang ditinggal atau ahli waris tersebut yang lebih bermanfaat, terkadang pengeluarannya bisa sampai jutaan rupiah,
jujur sewaktu alm bapak saya meninggal beliau sudah berpesan agar jangan mengadakan tahlilan tapi karena pihak saudara khususnya yang tertua mendesak dan memaksa akhirnya diadakan juga dengan syarat agar cuma 3 harian saja
akhirnya saya pun mengalah walau dengan sangat terpaksa karena mereka rata-rata semuanya mendukung tahlilan tersebut,
tahukan berapa biaya yang saya keluarkan untuk acara tersebut?
sebesar 2,5 juta lebih untuk 3 hari!
uang segitu untuk tahun 2010 masih terhitung lumayan dan itu pun menggunakan uang peninggalan pensiun dari alm bapak saya yang seharusnya bisa saya manfaatkan untuk keluarga dan itupun hanya mengundang tetangga sekitar terdekat saja tanpa mengundang pengajian mushola dan semua masyarakat di tempat tinggal saya itu,
kalau tidak tentu membutuhkan dana yang lebih dari itu, untuk 3 hari pun membutuhkan dana sebesar itu apalagi bagaimana jika sampai 40 bahkan sampai 100 harian??
lalu apakah rasulullah akan mencontohkan sesuatu yang membebani umatnya?
lihatlah saudaraku ahlak yang mulia dari kekasih allah yang mulia ini, bahkan tak jarang acara tahlilan ini menjadi hal yang ‘wajib’
bahkan saya lihat di tempat tinggal saya jika tidak ada yang melakukan tahlilan sudah pasti bakal jadi bahan “pergunjingan” bahkan tak jarang mulai di jauhi
tapi jika diantara mereka ada yang tidak shalat berjamaah di mushola atau pun tidak pernah terlihat shalat berjamaah malah tidak dipermasalahkan sama sekali bahkan dianggap biasa saja,
justru ketika sedang waktunya shalat maghrib-isya ketika saya berjalan menuju mushola untuk berjamaah sering saya lihat mereka suka nongkrong-nongkrong ngumpul ga jelas, ironi ya ironi saya bilang!
dimana orang yang tidak shalat wajib bahkan tidak pernah datang berjamaah di mushola maupun di masjid tidak dianggap masalah besar bagi mereka bahkan terkesan sepele tapi ketika tidak melakukan tahlilan saja langsung di “musuhi” ini aneh namanya menganggap tahlilan sebagai ibadah yang utama bahkan mengalahkan kedudukan sholat wajib!
padahal yang ditanya dan dihisab pertama kalai nanti di akhirat adalah SHOLATNYA! bukan TAHLILANNYA!
bahkan tak jarang tahlilan itu biasanya mulai ketika sehabis shalat maghrib, ketika tetangga saya meninggal saya datang tapi hanya sekedar menunjukan rasa belasungkawa dan menghormati saja adapun saya tidak ikut membaca yasinan,tahlilan dsb ketika acara tahlilan
sedang berjalan tiba-tiba terdengar lantunan adzan pertanda shalat isya, namun apa yang terjadi?
mereka cuek saja terus membaca tahlilan berjamaah dengan keras bahkan tidak menganggap wajibnya menyambut seruan ilahi tersebut,,
masya allah…
saya pun langsung izin kepada pemilik rumah untuk ke musholla
jujur dihati saya pun bercampur aduk, bertanya-tanya kenapa seolah-olah tahlilan itu benar-benar wajibun sekali buat mereka padahal seruan Allah datang memanggil kita untuk segera menghadapnya??
kenapa mereka lebih mementingkan sesuatu yang jelas tidak ada tuntunan syar’i nya daripada memenuhi seruan allah??
bukankah kita diharuskan bergegas memenuhi panggilan-Nya??
bukankah kita harus meninggalkan segala kegiatan dan kesibukan kita untuk segera memenuhi panggilan-Nya?
bahkan ketika adzan berkumandang kita dianjurkan harus berdiam sebentar untuk menghormati seruan adzan??
bukankah shalat itu wajib hukumnya?
bukankah shalat itu termasuk rukun islam yang kedua setelah syahadat??
lalu kenapa mereka menyingkirkan kedudukan shalat yang mulia ini??
begitulah seribu pertanyaan yang berkecamuk dalam hati saya ini,
singkat cerita ketika saya sudah selesai sholat isya berjamaah di musholla saya kembali lagi kerumah tetangga saya dan ternyata tahlilan masih tetap berlanjut, kira-kira jam 8.30 tahlil selesai dan dilanjutkan dengan acara makan-makan,
ini adalah pengalaman pribadi saya sendiri dan kejadian ini bukan hanya terjadi ditempat saya tinggal namun rata-rata ditempat lain juga seperti ini ketika saudara atau teman saya yang meninggalpun sama kejadiannya,,
saudaraku berfikirlah secara jernih jangan menggunakan hawa nafsu kita dalam beragama, semua sudah jelas, sudah ada tata cara aturan yang benar,
bukankah rasul pernah menegur ketika ada orang yang tidak ingin menikah dan tidak mau berbuka puasa hingga waktu berbuka dan ingin berpuasa penuh secara terus-menerus??
dengan alasan hanya karena ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dan ingin menjadi orang yang lebih shalih sehingga perbuatan ini ingin melebihkan nabi, bahkan rasulullah pun berkata kepada orang itu bahwa beliau adalah orang yang paling dekat dengan allah tapi beliau juga menikah dan berbuka puasa ketika tiba dan beliau pun berkata jika tidak menyukai sunahku ini maka dia bukan tergolong dari umatku!
karena apa? karena perbuatan ini termasuk “ghulluw” atau sikap yang berlebih-lebihan dalam agama yang justru hanya membebani dan mempersulit diri sendiri
bahkan rasul pun mengancam untuk orang yang melakukan itu bukan termasuk kedalam umatnya!
begitu juga dengan perbuatan yang tak ada landasan syar’i dan tuntunannya, sama saja kita berbuat sesuatu yang sia-sia dan tidak mendapatkan apa-apa justru malah dosa yang didapat!
marilah kita kita benar-benar menjalankan ibadah dan perintah Allah SWT serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan yang sudah di syariatkan tanpa ditambah-tambahi dan di kurang-kurangi, karena agama ini sudah sempurna!
seperti yang diwasiatkan oleh rasulullah SAW “berpegang teguhlah dengan kitabullah dan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin” bahkan rasul pun sampai menyuruh kita harus menggigit erat dan kuat sunah beliau dan para khulafaur rasyidin dengan gigi geraham kita!
ini cerminan bagaimana rasulullah sangat khawatir dengan keadaan umatnya nanti, karena beliau tau bakal ada pertentangan dan perpecahan diantara umatnya kelak dan memang ini terbukti sekarang! “suburnya bid’ah dan matinya sunah!”
mari kita konsisten menjalankkan dan menegakkan sunah-sunah beliau dan bersiap-siaplah kita bakal menjadi orang yang “terasing” sebagaimana rasul meriwayatkan dalam sebuah hadist ” agama islam itu berawal dari keterasingan dan akan kembali menjadi terasing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu”
Wassalam…
subhanallah
semoga Allah senantiasa menjaga kita agar selalu istiqomah di jalan yg diridhoiNya
saya mualaf dan mohon petunjuk.. di sekitar rumah saya sering diadakan acara tahlil (membaca yasin) bersama2, rutin setiap minggu sekali..
Apakah ini diajarkan juga oleh Rassulah ?
Karena saya fakir ilmu tentang hal ini, akhirnya saya memutuskan untuk belajar mengaji saja daripada ikut rutin tahlil.
mohon petunjuk mana yg benar yg dianjurkan Rassullah. maturnuwun
.mengenai tradisi berarti ikut melaksanakan apa yang di lakukan oleh nenek moyang kita terdahulu atau orang tuakita terdahulu,banyak yang beranggapan dengan mengikuti ajaran nenek moyang kita berarti (dalam hal beribadah khususnya ) mendapat nilai plus dr sisi Ibadah……
mengenai hal itu saya mau menuliskan sebuah ayat dari Alqur’an Surah Al Baqarah ayat 169 dan 170 yang artinya
“Sesungguhnya (setan ) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji. dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah. Dan apabila di katakan kepada mereka.”Ikutlah apa yang telah di turunkan Allah,”mereka menjawab,”(tidak) kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).
“Padahal,nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun, dan tidak mendapat petunjuk”.
mungkin ini dalil dari Al Quran Al Karim mengenai mengikuti tradisi nenek moyang,yang sering mengadakan tahlilan itukan tradisi dr nenek moyang atau orangtua trdahulu.
dan di zaman Rasulullah dan khulafaurrasidin serta di zaman tabiin,tabi’ tabiin dan generasi sesudahnya tdk prnh sm sekali melakukan acara kematian seperti yasinan dan tahlilan itu sendiri…apalagi mengkususkan harinya.
Itu merupakan Bi’ah dan kesesatan yang nyata di zaman modern seperti in yang sm sekali tdk prnah di ajarkan oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam…
dan banyak dr pelaku bid’ah mengambil argumen atw dalil untuk di jadikan hujjah dan membela para pelaku bid’ah yang ternyata setelah saya teliti dalilnya,alhamdulillah dengan kebesaran dn kekuasaan serta izin Allah Jallahu ‘Ala sy di beri pemahaman…..ternyata semua dalilnya mengenai acara tahlilan dn yasinan semuanya dho’if (lemah) bahkan ada yang smpai derajat maudhu’ (palsu) dan itu tdk boleh di pakai sbgai hujjah dan pembela para pelaku bid’ah…..
jadi pertanyaan,kita sebagai umat muslim orang yang beragama islam yang mengaku sebagai pengikut Nabi dr penutup para Nabi….
kita berislam mengikuti nenek moyang atw Manusia yang paling mulia yang membawa dan mengajarkan islam itu sendiri Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. ?
Kalau saya sih Sami’na wa ato’na…….
maaf kalau msh ada kesalahan dan kekurangan,karena sy msh miskin ilmu dan msh harus banyak belajar…Syukron yaa akhi.
salam..
dalam Tahlilan …
itu sering di baca Ayat-ayat Alquran antara lain : suratul Fatehah,surah Yassin, surah Al ikhlas, Al falaq,An nas dll serta doa doa mohon pengampunan dan Rahmat kepada Allah SWT..
apakah pelaksanaan membaca Surah2 Al-Quran ini dan doa2 secara bersama-sama disebut bid’ah…
mhn penjelasan.
kalau orang yang sudah meninggal tak boleh kita tahlilkan….artinya mengirim doa..
samalah kita ne macam orang kafir …
lebih bagus tak usah shlat jumaat dan tak usah salawat nabi .. karna nabikan udah mati …. kan taksampai salawat kita….
jadi yang nama bid ah tu ajaran yang tak pernah di buat nabi cantoh puasa setahun penuh ..sholat sepanjang malam….. jngan salah mendefinisikan hadis nabi…
Ada dalil tidak yg ” jelas jelas ” mengharamkan tahlil semisal pengharaman daging babi, membunuh dll. Atau pernyataan yang jelas mengharamkan dari mujtahid yg telah hafal min 300.000 hadis.
Minta tolong beritahu pak. Makasih. Salam persahabatan.
S7 dah dg Abang. Klo tdk S7 tdk mw komen, maklum msh perlu bljr bnyk.
Asssalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
saya mau tanya pak. apakah naik mobil. motor, kereta, pesawat, pake Hp, internet, makan nasi, bakso, sosis, pecel, itu juga bid’ah…?
trus klo masalah tutup ka’bah ..?
pembangunan masjid, manaqib, maulud. ? pa tu juga Bid’ah?
juga bagaimana dengan pembukuan Al Qur’an, pemberian fathah kasroh tasjid sukun pada Al Qur’an, trus bagaiman hukumnya belajar ilmu tajwid. trus bagaimna hukumnya menulis dengan huruf selain Arab pada lafat Al Qur’an, pa itu juga bit’ah yang sesat..?
yang saya tanyakan masalah bit’ahnya mas. kan dijaman Rosul tidak ada pembukuan Al Qur’an bagaimana anda bisa bilang sunah? knapa tidak anda bilang bit’ah..? dan dijaman Rosul apakah juga berharakat kan belum trus tu bit’ah tidak?
tolong jelaskan
dalam Al Qur’an sudah kita ketahui banyak berisi kisah kisah para Rosul berarti itu sama dong dengan maulid dan juga manaqib?
Asssalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
perlu diketahui tahlilah itu rangkuman dari beberapa doa. dan bacaan ayat suci Al-Qur’an kemasanya sja dinamkan tahlilan dan ada dalilnya seperti fatwa Imam ahmad
fatwa Imam Ahmad:
( وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ ) قَالَ الْمَرُّوذِيُّ : سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ : إذَا دَخَلْتُمْ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، وَاجْعَلُوا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ ؛ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ ، وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ الْأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ ؛ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى – ج 5 / ص 9)
“Dianjurkan baca al-Quran di Kubur. Ahmad berkata ”Jika masuk kubur bacalah Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Asssalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
“(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ (الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ (المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11 وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)
“Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut” (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya’ IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)
– Mengiringi Janazah Dengan Tahlil
أَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ فِي “الْكَامِلِ” عَنْ إبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حُمَيْدٍ ثَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَبْدُ الْعَظِيمِ بْنُ حَبِيبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا، انْتَهَى. وَضَعَّفَ إبْرَاهِيمَ هَذَا، وَجَعَلَهُ مِنْ مُنْكَرَاتِهِ. وَأَعَادَهُ فِي “تَرْجَمَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ”، وَضَعَّفَهُ تَضْعِيفًا يَسِيرًا. (نصب الراية 2 / 292)
“Ibnu Umar berkata: Tidak terdengar dari Rasulullah ketika mengiringi janazah dari belakang kecuali kalimat tahlil, baik ketika mengantar atau pulangnya” (HR Ibnu Adi dalam al-Kamil dengan sedikit dlaif)
bahkan ibnu taimiyah guru besar wahabi berfatwa
وَسُئِلَ : عَمَّنْ ” هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ ” حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (مجموع الفتاوى –24 / 165)
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang membaca tahlil tujuh puluh ribu kali dan dihadiahkan kepada mayit sebagai pembebas dari api neraka, apakah ini hadis sahih atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca tahlil sebanyak tujuh puluh ribu, atau kurang, atau lebih banyak, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan menyampaikannya. Hal ini bukan hadis sahih atau dlaif” (Majmu’ al-Fatawa 24/165)
Di bagian lain Ibnu Taimiyah juga mengeluarkan fatwa yang seharusnya juga dijadikan pedoman bagi pengikutnya untuk turut mengamalkan tahlilan:
وَسُئِلَ : عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ وَتَكْبِيرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (مجموع الفتاوى –24 / 165)
“Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bacaan keluarga mayit yang terdiri dari tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila mereka menghadiahkan kepada mayit apakah pahalanya bisa sampai atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Bacaan kelurga mayit bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya dan semua dzikirnya, karena Allah Ta’ala. Apabila mereka menghadiahkan kepada mayit, maka akan sampai kepadanya” (Majmu’ al-Fatawa 24/165)
Bahkan, Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahhabi, di dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut hal. 74 mencantumkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan yang lain dari Ibnu Abbas secara Marfu’:
” مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلاَّ كَالْغَرِيْقِ الْمُتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبٍ أَوْ مِنْ أَخٍ أَوْ صَدِيْقٍ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا وَاِنَّ اللهَ لَيُدْخِلُ عَلَى اَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنْ دُعَاءِ اَهْلِ اْلاَرْضِ اَمْثَالَ الْجِبَالِ وَإِنَّ هَدَايَا اْلأَحْيَاءِ لِلْأَمْوَاتِ اْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمْ”
“Keadaan mayit di dalam kuburnya tak lain seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan. Ia menunggu doa dari bapaknya, saudaranya dan temannya. Jika doa telah sampai kepadanya, maka baginya lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Sesungguhnya Allah memasukkan doa dari orang hidup ke dalam alam kubur laksana sebesar gunung-gunung. Dan sesungguhnya hadiah dari orang yang hidup kepada orang yang mati adalah istighfar (minta ampunan bagi mereka)”
tahlil adalah bahasa singkat isinya mendoakan si mayat ;
mendoakan si mayat ko dilarang?,
cuman waktunya yg berbeda .
itu terserah kalian deh atur kapan waktunya jangan ribut mau tahlil ke, mau doa buat si mayat ke, yg penting di kerjakan jangan di cekal.
subahanallah,hati jdi adem dengr ceramah ini..
assalaamu’alaikuum…
Saya ingin mendapatkan pencerahan berkenaan dengan bid’ah, sudah dipahami bahwa bid’ah secara singkat adalah –yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah–, yang mengganggu saya adalah pembukuan al quran, penyematan titik, baris atau tanda baca serta penafsiran/penterjemahan adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat/tercela, tolong pencerahannya.
Terima kasih,
Salaam
ibadah itu ada yang mahdhoh dan ada yg ghairuhu mahdhoh…
tahlilan itu ghairuhu mahdhoh dan tidak ada kekuasaan seorang manusia pun yang bisa menentukan apakan amalan seseorang itu diterima atau tidak…semuanya tergantung dari ridho dan rahmat Allah SWT amiin!
wah berarti naik haji pake pesawat juga bid’ah dunk.
apakah kita harus berenang dan jalan kaki atau harus sewa unta di kebun binatang? bagaimana juga dengana penggunaan hp?
rosulullah dan khulafaur rosidin tidak mengenal hp. termasuk anda mungkin juga menggunakan hape. bahkan anda pakai internet juga bid’ah dunk. dan spt penjelasan anda, bidah itu sesat.
termasuk saat melihat web ini.
iya pengunjung baru. dan sy butuh ilmu yg tidak hanya dari satu-dua referensi sj. wassalam.
jadi bidah itu untuk ibadah saja, kalau untuk urusan dunia nggak bid ah. begitu ya mas ?
saya tetp memegang sunnah dari nabiku yaitu muhammad saw…beliau adlah sebaik baik panutan..dan para pembuat bida’ah sengaja mengada ngadakn hadist yg mngtakn bahwa ada tuh bida’ah hasanah sbgai pembela bahwasanya mereka benar….
‘udh tau sesat masih jga dikerjakan'”
assalamualaikum,
saya ingin bertanya tahlilan kenapa anda menyebutnya bid’ah pdahal didalamnya terdapat sunah rosul, yg rosul ajarkan kepada kita sebagai umatnya..
terimaksih,tlong jwb secepatnya
Aslmu’alaikum,
terima kasih mas,
sy ikut menyimak diskusi tentang Ibadah yang sesuai Syar’I ini,
Alhamdulillah semoga Allah selalu memberikan rahmat dan Hidayahnya kepada mas admin dan kita semua dan utk saudara muslim kita yg msh??
Smoga mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu’wa’ta’ ala, Amiiiin, dan Alhamdulillah utk sy pribadi insaAllah sangat bermanfaat,
artinya semakin tercerahkan dg apa yg telah disampaika mas admin di Laman ini..
Allahu’akbar, Ala’humma ‘sali’ala Muhammad wa ala’ali Muhammad..
Assalamualaikum…
Sunah itu kalau di kerjakan mendapat pahala kalau nggak dikerjakan kita akan RUGI…
itu adalah sepenggal kalimat yang slalu saya ingat dari sebuah buku…
dan itu yang membuat aku bersemangat…
karna saya nggak mau RUGi..semangatlah buat belajar buat mencari tahu mana sunah yang bener2 dari rosul..mana yang di ada2kan..,
ternyata banyak banget amalan sehari semalam yang di ajarkan rosul…eeehhh…malah orang2 banyak yang ngerjakan perkara2 yang di ada2kan…apa nggak sayang…??
sunah dari rosul yang sehari semalam aja belum dikerjakan..
eeehhh malah ngerjakan perkara yang di ada2kan.
Buat ustadz2 salafi…kapan tausiyah di DEMAk????
Tapi jangan kaget za pak sama orang2 demak…hehehe..
Ndak punya para bola pak..
ndemake antara semarang sama kudus pak??
kalau di semarang ada tho pak..setiap hari apa??
tempate
di mana pak??
Assalamua’laykumm.
saya mau nanya klw marhabanan bid’ah lalu buat apa kitab barjanji.?
Ke dua kenapa kamu merayakan maulidan.
Se olah2 dia berkata kenapa kamu gembira dengan lahir nya kanjeng nabi muhammad
kalo kita mau menikah pertama ,usahakan lah dengan janda beranak dan kaya, karena nabi juga begitu.bagaimana tanggapannya. bukannya nikah salah satu ibadah?
Astagfirullah berarti menurut antum… Semua para wali Allah yg ada di dunia ini adalah termasuk para pelaku ahli bid’ah dolalah dan semua ada dineraka…
Syeh abdul qodir aljailani mendirikan sbuah tarekat namanya tarekat qodiriyah, syeh abu hasan asyadili mendirikan tarekat syadiliyah, syeh rifa’i mendirikan tarekat rifaiyah, termasuk juga wali songo DLL.
Mereka semua dipercaya adalah para qutubul auliya’illah (rajanya para wali Allah) sperti yg di jelaskan berarti Mereka semua adalah pelaku ahli bid’ah dgn mendirikan ajaran tarikat yg menurut antum semua itu adalah bid’ah…
Pantaskah antum semua merasa lebih muliya di bandingkan mereka….
assalamualaikum,
saya pengen kembali ke ajaran rasulullah,saya dari kecil sampe skrang sllu hidup di lingkungan yg penuh dengan ke bid’ahan
kalau di daerah subang,jawa barat adakah pengajian salaf??
di antos info na
jajakallah khair,,
Uraian anda hebat sekali,
alhamdulillah anda diberi umur panjang sehingga dapat menjelaskan kepada kita kita yang hidup di jaman ini Subhaanallah,
anda dgn gamblang menyampaikan maksud sayyidina umar bin khattab perihal bid’ah yg disampaikannya adalah secara bahasa,
kalau boleh tau waktu itu pas beliau ngajar tata bahasa dan anda jadi mahasiswa nya yaa, bersyukur sekali anda dapat penjelasan langsung dari beliau,
termasuk sejarah pemushafan qur’an anda ada juga ya sewaktu beliau menyampaikan rencana pembayarannya dan oleh sayyidina abu bakar sempat ditolak dan dibilang bid’ah namun akhirnya beliau setuju dan kemudian sama sama mengutus zaid bin tsabit dan sempat ditolak karena takut bid’ah, namun akhirnya zaid juga setuju karena itu semua demi kemaslahatan ummat
anda jadi saksi semuanya itu yaa sehingga tau kalau itu semua adalah bid’ah dari segi bahasa, salut buat anda.
RABU, 15 OKTOBER 2014
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid’u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah. Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-’Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya. Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela). Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)ه
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak. Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27 )ه
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah. Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)ه)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)ه
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah. Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha…”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)ه
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
8. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: “وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ” قَبْلَ “تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ” وَبَعْدَهُ: “فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”. قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاري)ه
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang. Salah seorang dari kalangan tabi’in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum’ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi’in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya. Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya’mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi’in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya. Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu’ (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-’Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-’Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa’iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa’at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma’bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya’mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd Al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah ‘Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha’ dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)ه
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa’ ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .
Jawab: Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154). Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”. Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum ‘Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”. Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab: Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”. Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab: Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ “فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ “سُنَّةً حَسَنَةً” أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu. Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab: Subhanallah al-’Azhim. Apakah berjama’ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i’tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah. Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara’?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar’i dan dianggap sebagai haqiqah syar’iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara’, lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?! Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)ه
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara’ yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada. Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya. Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi’in, para ulama Salaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini. Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya
Mohammad Taufiq Karangjati Ngawi di 17.13
Berbagi
Ohh min jdi maksud anda sunnah yang dilakukan rasulullah ada sunnah yg sayyiah ? Apakah anda sehat ?
Iya saya ngerti. Andakan menyangkal bid’ah itu tidak ada yang hasanah dan sayyiah, dan anda juga menerangkan bahwa bid’ah itu semuanya sesat. Jika menurut anda bahwa yg anda terangkan itu benar, dan anda menjelaskan “kalau sunnah ada, sunnah hasanah dan sayyiah”. Berarti anda beranggapan bahwa Rasulullah juga melakukan sesuatu yg jelek(sayyiah) yg dicontohkan kepada ummatnya !!
Saya bertanya apakah Rasulullah pernah mencontohkan kepada ummatnya sesuatu yang jelek(sayyiah) dalam ucapannya, perbuatannya, dan pengakuannya ?
Tentang nabi palsu, tentang jibril palsu, tentang pelecehan islam tidak terdengar pembelaaan kalian. Tapi, masalah khilafiah tega2nya kalian menyatakan bid’ah. Kalian memerangi orang yang sudah beriman!!!!!!!
assalammualaikum
maaf sebelumnya,
setelah membaca dari atas sampe Pos Comment, Ternyata seperti itu Yah yang DIbilang Bid’ah,,,.baru tau saya,,
setelah dipikir2? dan Menyimak artikel diatas,Muncul Rasa Ingin Bertanya,,Untuk Menambah Wawasan Dalam Ilmu AGama Allah””
tapi??????
Masih Ragu dan Takut Untuk Bertanya Takut Nya Jadi Bid’ah???
Sedangkan Hadist nya aja Seperti Itu”” Bikin Jantung Berdebaaaaarrrrrr debaaarrrr?
Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melainkan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku. .. Bilal melakukan inisiatif ibadah sendiri yang tidak diajarkan Nabi.. Mohon penjelasan…
Sahabat Nabi mengatakan “Shalat Tarawaih adalah sebaik-baik Bid’ah..” Bidah koq Baik?
Assalamualaikum,,,,
saya mw tanya,,,,sholat taraweh di jaman nabi saw cuma 8 rokaat dan ketika di jaman umar ra,,di tambah 12 jadi 20 rokaat,,,,
apakah itu tidak trmasuk dlam kategori menambah2 dlam agama,,,,
dan umar katakan SEBAIK2 BIDAH ADALAH INI….
jdi tdk semua yg menambah2 dlam agama itu bidah sesat,,selagi itu baik,,,
walaupun tdk ada di jaman nabi,,,
selagi itu perbuatan positif…gimana??
bagaimana dengan maksud TRI TAUHID,,,,???
dan apa ada dalil dari alquran dan assunnah atw atsar sahabat dlm masalah Tri Tauhid dan apakah nabi saw dan sahabat mencontohkan Tri Tauhid dalam akidah umat islam,,,
mohon penjelasanya???
https://–delete–/09/14/dalil-nagli-sholat-tarawih-20-rakaat-sholat-tarawih-8-rakaat/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C1258307808…..
ini link hadits shohih yg meriwayatkan sholat taraweh 20 rokaat,,,
bahkan msalah hadits dri kitab muwato imam malik,,
bukan menjelaskan sholat taraweh melainkan hadit yg menjelaskan sholat witirnya nabi saw di bulan ramadhan dan di luar bulan ramadhan…
mohon di baca dan di tanggapi..ok
Aku suka jawaban admin konsisten… islam sdh sempurna jadi jgn ditambah kurangi..
bagaimana dengan orang2 yg khuruj,,belajar dakwah ke india,,pakistan dan bangladesh???
IKUTI PENGAJIAN USTADZ ABDUL SOMAD Lc. MANTAB DIA ITU ADEM KALAU MEMBERI MATERI CERAMAH TDK SEMUDAH ANDA MEMBID’AKAN ORANG.
Makasih akhi infony.
Sy mendapat banyak pengetahuan dari tulisan akhi. Tapi yg membuat saya bingung. Ad yg bilang orang salafi itu taqlid buta thp ibnu taimiyah. Mohon penjelasanny. Terima kasih
Baarakallahu fikum… Semoga Allah selalu menjaga antum…
Syukron wa jazakallahu khoiron..